Notification

×

Iklan

Iklan

Budaya Lokal Dalam Kilasan Pendidikan Kebudayaan Nasional?

Tuesday, June 27, 2023 | June 27, 2023 WIB Last Updated 2023-06-27T05:00:18Z

Oleh: Ruli Andriansah (Mahasiswa)


Kilas Awal


Jauh-jauh hari para pendiri bangsa Indonesia telah merumuskan apa sebetulnya kebudayaan nasional itu. Apakah sekedar kesenian, tari-tarian, pakaian adat, lagu-lagu patriotisme, dan semacamnya. Itu produk dan tidak salah, namun apakah itu sudah cukup merepresentasikan kebudayaan Indonesia? Jika kita mengikuti pendapat Ki Hajar Dewantara mengenai definisi kebudayaan, yaitu cipta, rasa, dan, karsa; maka kebudayaan tak lebih dari proses dan hasil penciptaan.


Seandainya kita memakai pengertian tersebut sebagai landasan merengkuh semangat berkebudayaan nasional, rasanya agak kurang menyeluruh ketika menjelaskan kompleksnya kebudayaan nasional itu. Terlebih lagi jika kita mengokohkan kebudayaan sebagai kerangka acuan membangun pendidikan. Kendati bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia tidaklah melupakan konteks budaya lokal. 


Sejak lama terdapat jalinan yang hingga hari ini masih diperbincangkan. Mengingat juga Indonesia merupakan komunitas besar yang terbayang oleh cita-cita nasionalnya (Anderson, 1983). Artinya, ada prosesi panjang seperti percampuran dan seleksi budaya lokal yang melibatkan penciptaan kebudayaan nasional itu.


Bahasa, Antara Lokalitas dan Nasionalisme


Proses penyerapan budaya lokal saat bersentuhan dengan pendidikan nasional memanglah berbeda sedikit pendekatannya. Sebagaimana yang kita tahu bahwa kebudayaan nasional tidak lepas dari pengaruh kebudayaan komunitas tempatan (Laksono, 2015). 


Meski demikian, kontribusi antar kelompok etnis yang memiliki corak tradisi dan kebiasaan itu kerap tidak terlihat. Kita mempertanyakan, dapatkah kepribadian partikular yang tumbuh dan mengakar itu menghidupi tubuh kelokalannya di tengah arus nasionalisasi? Misalnya saat melihat kondisi hari ini, apresiasi budaya lokal hanya bagian kecil dalam administrasi kurikulum atau penggunaan atribut seragam saat akhir pekan. Sangat kecil daya penetrasi kebudayaan lokal itu, seringnya hanya terlihat ketika para pemain dalam institusi pendidikan itu kembali ke rumah.


Kemudian, yang lebih vital yakni penggunaan bahasa pengantar. Bagaimana cara pengajar dan peserta didik menghidupi kebudayaan nasional dalam kelas-kelas belajar. Seperti yang kita tahu bersama bahwa bahasa Indonesia berangkat dari akta politik bangsa, yakni bahasa yang baru diakui setelah diproklamasikannya sumpah pemuda. Bahasa Indonesia juga disebut in absentia atau kehadirannya waktu itu diprediksi dapat melampaui zamannya. Namun jika dicermati secara mendalam, menurut James T Siegel dalam Laksono (2015), kemunculan bahasa Indonesia merupakan efek koneksi dialog antar budaya yang mencoba eksis dan berinteraksi dengan dunia luar. Bukan hanya dari sumber asli atau pinjaman bahasa asing akan tetapi keduanya.


Jika kita menilik sejarahnya, bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pergaulan (lingua franca). Dan nasionalisme muncul ketika bahasa Indonesia digunakan bukan malah sebaliknya; nasionalisme melahirkan bahasa bersama. 


Laksono (2015) menyebut ini sebagai percakapan antara dunia lama dan baru. Terjadi ketegangan sekaligus akulturasi yang terus mencari bentuk terbaiknya. Selain karena termasuk unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1980), bahasa memang menampung gagasan manusia yang tidak mampu terwadahi oleh sesuatu yang materil (artifact).


Urgensi Budaya Lokal dalam Pendidikan Nasional


Mengapa konsep kebudayaan begitu penting dalam pendidikan? Di masa kolonialisme Belanda, jalan kebudayaan adalah strategi yang ampuh untuk membedakan status antara tuan dan liyannya. Pemisahan ini dilakukan guna mendiskriminasi pribumi (furnivall) yang dianggap tidak memiliki rasionalitas seperti orang barat. Berkaca dari itu, tentu kita tidak menginginkan jikalau diskriminasi masa lalu kebudayaan yang laten justru terulang dalam pendidikan nasional kita hari ini. Maka diperlukan kehati-hatian ketika mengoperasikan sistem pendidikan nasional beserta muatan yang diajarkan. 


Lalu bagaimana pendidikan kebudayaan nasional sekaligus melokal itu dapat terimplementasikan?’ Dalam hal ini, para antropolog dan peneliti sosial telah mencontohkan kerja-kerja partisipatoris. Kerja partisipan yang dimaksud bukan sekadar survei data yang tidak jelas arahnya dan penuh keambiguan. 


Namun, ditekankan pada internalisasi karakter yang setara dan tidak meninggalkan akar kepribadian budaya lokal maupun nasional mereka. Sebab membangun pendidikan sejatinya adalah membangun manusia. Artinya, wajah pendidikan kebudayaan nasional tidak timpang sebelah atau hanya berorientasi pada produk material. 


Harapannya, terjadi pertukaran sekaligus keterlibatan yang emik dan etik. Dua suara yang mesti timbal balik satu sama lainnya, yaitu terciptanya Iklim pendidikan nasional yang tidak meminggirkan lokalitas; mesti holistik dan digarap secara berkeadilan.


Sumber Referensi:

Anderson, B. R. O. (1983). Imagined communities. Verso.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar antropologi. Rineka Cipta.

Laksono, P. M. (2016). Antropologi pendidikan: aneh, biasanya tidak apa-apa. Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

×
Berita Terbaru Update