Notification

×

Iklan

Iklan

Senggigi dan Gili Yang Tidak Sama Lagi di Masa Pandemi

Monday, March 29, 2021 | March 29, 2021 WIB Last Updated 2021-03-29T09:04:36Z

Oleh: Aulia Mauludi*

Opini - Minggu kemarin saya landing di Praya International Airport. Saya jadi teringat beberapa tahun lalu, ketika saya berada di Lombok. Sebuah ingatan yang menyenangkan bertemu dengan teman-teman. 

Saya teringat lima tahun lalu, seorang warga local berteriak kegirangan melihat saya turun dari kapal di Gili Trawangan. Saya tidak ingat siapa dia, tetapi dia menjelaskan, “anak-anak muda di sini beberapa kali tidur di rumahmu di Surabaya. Saya bertemu kamu di sana.” Tempat saya memang sering dijadikan tempat untuk menginap beberapa anak muda dari kota lain yang datang ke Surabaya. Beberapa di antaranya adalah anak-anak Lombok. Hari itu kita bersepeda, snorkling dan ketawa-ketawa seolah  kita sudah kenal 50 tahun yang lalu.

Hari pertama di Lombok minggu lalu, saya hanya mengundang seorang teman yang kebetulan sedang berada di Mataram. Dia tinggal di daerah Batu Layar. Karena keluarganya sakit dan fasilitas Kesehatan tidak memadai di tempatnya, akhirnya ayahnya dirujuk ke Rumah Sakit di Mataram. Kami pun hanya bertemu sekitar 5 menit karena sama-sama sibuk.


Esok lusanya saya menginap di daerah rumahnya. Dia tetap sulit ditemui. Lalu saya ditelpon oleh istrinya, saya bertanya kemana dia dan teman-teman lainnya. Mengapa sulit dihubungi? Dia menjelaskan dengan singkat, “semua sudah pergi keluar. Ada yang ke Bali ada yang sedang kesusahan. Sekarang sudah berbeda tidak seperti beberapa tahun lalu.” Sebuah ujung pembicaraan yang saya artikan untuk tidak berharap bertemu teman di sini.


Senggigi dan Gili


Hari itu saya berjalan kaki cukup jauh. Senggigi sudah tidak seperti dulu, banyak jalan yang gelap sebelum larut, karena hotel dan restaurant banyak yang tutup. 


Saya berhenti beberapa kali untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar sini. Karena sudah cukup larut, maka saya memutuskan untuk menginap tidak jauh dari pantai. Cerita di bawah ini hasil pembicaraan dengan kurang lebih 20-25 orang yang saya temui di Lombok dan Gili.


Saya berbincang dengan beberapa satpam hotel dan tukang parkir di jalan raya Senggigi. Beberapa hotel di sana membanting harga lebih dari 50%. Mereka kini membebaskan siapapun untuk mengadakan hajat di sana. 


“Dulu hotel di sini tidak mengijinkan digunakan acara wisuda. Kini, beberapa universitas diperbolehkan berhajat di sini. Bagaimana pun caranya yang penting pegawai dan listrik kebayar.” Empat orang warga local yang saya tanya di sana memprediksi hampir lebih dari 80 % hotel, restaurant, dan fasilitas wisata lainnya tutup. Ribuan pengangguran terjadi serempak pada tahun 2020.


Saya berjalan cukup jauh dan menemukan jalan raya yang biasanya dipenuhi wisatawan mancanegara kini menjadi sangat lengang. Di pinggir-pinggir jalan pantai Senggigi, beberapa café yang buka bisa dihitung dengan jari. “Mereka adalah pemilik modal besar yang tidak peduli untung yang penting mereka masih bisa eksis berbisnis,” ujar seorang pegawai Café yang hampir semuanya duduk di pinggir jalan, karena Cafenya pada malam minggu sangat sepi.


Keesokan paginya, saya mendatangi pantai Senggigi yang dipenuhi warga local yang mencari nafkah. Tempat ini memang sangat sepi dari wisatawan, tetapi beberapa masih berharap mendapatkan rezeki dengan berkumpul di pinggir pantai. Saya bertanya pada seorang pemilik warung yang dikerumuni anak-anak kecil di sana. “Setelah datang pandemic, hampir semua warga sini di-PHK dari pekerjaannya. Saya setelah berhenti menjadi tukang masak di hotel, lalu buka warung dengan pendapatan seadanya. Suami saya pun menganggur. 


Dia dapat sepuluh ribu sehari pun sudah untung. Dulu dia mendapatkan tiga juta sebulan. Kini 500 ribu pun sudah hebat,” ujarnya diamini suaminya yang duduk di sebelah saya. “Saya menjual makanan murah untuk beberapa warga local yang mencoba mencari nafkah di sini. Makan seadanya yang penting ada nasinya. Saya sering diberi bantuan oleh masyarakat Lombok Tengah yang memiliki sawah. Sisa beras terburuk yang mereka punya biasanya di sumbangkan ke kita. Di pantai ini, beberapa warga bisa membeli makanan yang murah dari warung saya karena nasinya gratis.”


Saya pun menceritakan Mataram yang mulai banyak orang beralih pekerjaan menjadi tukang ojek. Seorang warga local Senggigi pun bangun dari duduknya dan berkata pada saya, “Saya berani jamin desa Loco di Senggigi adalah desa yang terparah. Ayo saya antar ke sana,” ujarnya dengan sedikit emosi Saya pun diajak menyusuri desa Loco dan desa-desa lain di sebelahnya. Kondisinya benar-benar parah.


Gempa Lombok


Saya baru sadar bahwa Covid 19 adalah bencana kedua bagi pulau-pulau di Lombok dan sekitarnya dalam waktu lima tahun terakhir. Bencana pertama adalah gempa bumi Lombok yang terjadi di bulan Agustus 2018. Butuh waktu satu tahun untuk membenahi kerusakannya. Beberapa bangunan baru beres dibangun ulang pada tahun 2019 akhir. Ruko dan tempat wisata pun dibenahi pada tahun yang sama. Beberapa masjid dan gereja tampak masih belum dibangun ulang hingga kini. Beberapa bentuknya masih miring dan kosong.


Saya melihat beberapa ruko yang dibangun setelah gempa di Senggigi sampai kini masih belum berfungsi. “Baru kita beres-beres setelah gempa, begitu mau buka ruko corona masuk ke Senggigi.”


Di Gili Trawangan, beberapa hotel yang baru dibangun pasca gempa dan baru beberapa bulan berjalan langsung tutup karena pandemic. “Kita merasakan bencana semenjak tahun 2018. Dari gempa bersambung ke Corona,” ujar pemilik salah satu hotel.


Sebuah hotel di Gili Trawangan lainnya, lantai duanya rubuh terkena gempa. Mereka membangunnya dan membukannya di bulan Agustus 2019. Baru berjalan enam bulan untuk mengembalikan kerugian semasa gempa, kini mereka harus mengalami rugi yang lebih besar lagi. Beberapa hotel yang tutup pun memiliki ide untuk merubah hotelnya menjadi warteg. “Memang tukang masak di hotel kini membuka warteg pinggir jalan, bahan dan modalnya dari hotel. Yang penting karyawan bisa bertahan hidup. Dari tahun 2018 kita tidak punya uang dan sekarang yang penting bertahan dulu saja dengan usaha seadanya.”


Walaupun dalam keadaan susah, tetapi hotel di sana hampir semuanya tidak keberatan apabila dipakai tempat isolasi.


Infrastruktur lainnya yang sedang dibangun ulang pun terpaksa berhenti. Lihat saja dermaga yang hancur karena gempa, tidak kunjung usai terhambat corona. Pengadaan air bersih pun baru kini dilanjut lagi. Gili memang kesulitan air bersih. Biasanya mereka menggunakan air laut untuk kebutuhan sehari-hari. Selama pandemic, mereka harus lebih bersabar lagi menunggu proyek air minum usai.



Desa di Sekitar Senggigi


Kembali kepada seorang pemuda yang mengantarkan saya berkeliling desa di sekitar Senggigi. Begitu memasuki desa Loco, saya menemukan banyak anak yang bermain di jalan. Keadaan tidak lazim ini membuat saya bertanya pada beberapa ibu di sana. “Anak saya sekolah beberapa hari saja dalam seminggu. Sisanya main dengan temannya. Gara-gara dia jarang sekolah, sekarang jadi malas. Saya sampai harus membentak-bentak agar mereka mau bersekolah.” 


Saya sempat mewawancarai beberapa anak yang tidak sekolah. Mereka tampak Bahagia sekali karena seharian bisa bermain di pantai. Anak yang tidak bersekolah hari itu memang sangat banyak. Dari pinggir pantai Senggigi hingga naik ke perbukitan saya banyak menemukan kelompok-kelompok anak kecil bermain. Ibu-ibu lainnya menjelaskan bahwa sebenarnya masuk sekolah seminggu beberapa hari saja adalah kebijakan gurunya, karena mereka kasihan dengan kondisi anak-anak yang tidak sekolah semenjak lama. Dari pada mereka tidak bisa naik kelas, akhirnya gurunya mengajar anak-anak di pinggir pantai. “Kadang 10 orang saja diajar setiap tiga hari selama seminggu. Sisanya di hari yang lain. Jadi kelas itu dibuka sembunyi-sembunyi. Mereka belajar sering di pinggir pantai atau kadang di tempat yang sepi, yang tidak terlihat sebagai kerumunan. Kalau belajarnya di sekolah, sudah pasti dilarang oleh pemerintah.”


Permasalahan yang muncul di bidang Pendidikan pada desa Senggigi adalah sulitnya akses online. Saya mencoba mencari dan bertanya pada beberapa penduduk di sana, mereka memang kesulitan membeli gadget karena toko dan harganya yang sulit dijangkau. Diperkirakan dalam radius 50 km baru terdapat toko HP terdekat. Apabila pulsa dan service HP, beberapa ada di sana. Toko yang sempat bukapun kini banyak yang tutup akibat pandemic. Dengan begini, kegiatan belajar mengajar online pun sangat terganggu bagi masyarakat Senggigi. Inilah yang mendasari guru untuk memaksa mengajar anak-anaknya di masa pandemic.


Perjalanan saya di desa Loco semakin dalam. Begitu memasuki ke tengah desa Loco, saya dibawa ke beberapa kos-kosan pegawai yang kini semuanya kosong melompong. “Lihat, asalnya bapak ini dapat 2 juta dari kos. Sekarang tidak ada pendapatan sama sekali. Kamu lihat semua tempat di sini. Sepi sekali. Para pekerja wisata pada pergi keluar Senggigi,” ujar Yoga seorang tour guide-ku hari itu.


Saya jarang merlihat laki-laki di kampung itu. Menurut informasi, mereka banyak yang ke pantai, mencari ikan, mencari wisatawan, hingga pergi ke kota terdekat untuk mencari nafkah. “Ketika PHK terjadi besar-besaran, semua sudah diam saja tidak ada pekerjaan. Pagi hari, ibu-ibu di sini cari kayu bakar. Anak-anak didiamkan saja agar bermain dengan yang lainnya karena mereka tidak sekolah. Kayu bakar itu Sebagian dipakai, Sebagian lagi dijual. Kita sudah tidak mampu membeli gas walau di sini masih ada gas yang dijual. Bapak-bapak yang mencari nafkah pun hanya mencari untuk membeli nasi. Kadang, hasil penjualan kayu bakar itu juga buat tambahan membeli nasi. Kalau untuk sayurnya, kami masih boleh minta ke kebun-kebun tetangga. Kita ngga akan pernah kehabisan sayuran. Kalau mau pakai lauk yang laki silahkan mancing di laut.”

 

Begitulah cara mereka bertahan hidup. Selama pandemic, mereka kembali ke alam untuk makan. “Kalau sudah normal maka kami akan Kembali lagi ke hotel-hotel. Besaran dapat gaji kerja di hotel mas dari pada menjadi nelayan. Dua hari ini saja, penduduk desa tidak dapat ikan, karena cuaca buruk dan kadang bahaya mencari ikan di laut. Kalau pemerintah memberikan kita uang 35 jt maka kita bisa membeli perahu dan peralatan menangkap ikan sendiri. Kita itu dulu adalah pekerja pariwisata, kini harus berubah menjadi nelayan dan pencocok tanam, ngga mudah itu.”


Tempat itu kini sedikit bersinar dengan hadirnya persewaan jetski. “Beberapa waktu lalu Kapolda mengijinkan kami untuk membuat sedikit kerumunan yang penting penduduk pantai bisa hidup. Mendadak ada orang kaya yang membangun usaha jetski. Kita semua sekarang bekerja di sana. Dari jam 8-6 sore. Itu membantu kami sekali. Memang rugi, tetapi yang mempunyai usaha juga sudah paham.” Beberapa turis local di waktu minggu banyak yang menyewa  jetski. Walau di waktu senin hingga kamis bisa dipastikan tempat itu sepi. 

Kesulitan di Senggigi sayangnya tidak didukung dengan Bansos yang rutin. Saya bertanya pada lebih dari 10 orang di Senggigi, “kami hanya sekali mendapatkan bantuan pemerintah (Basos). Kami itu membutuhkan bantuan. Kamu lihat kita seharian di sini. Kita duduk dan Sebagian main game tanpa ada kerjaan. Dapat sepuluh ribu saja sudah hebat.” Pilihan mereka memang ramai-ramai meninggalkan tempat itu mencari kota atau tetap bertahan di pantai dan tebing-tebing di Senggigi. 


Gili di Awal Pandemi


Sewaktu Nyepi, Gili Trawangan cukup banyak didatangi turis. “Mereka datang seribu orang dan Kembali tiga hari kemudian ke Bali. Lombok adalah tujuan wisata yang tergantung dari Bali,” ujar seseorang di dermaga yang menghitung pendatang setiap hari.


Itulah moment teramai Gili akhir-akhir ini. Gili Trawangan dan dua Gili lainnya adalah pemasok devisa 45% Lombok Utara. Ketika pandemic datang, semua pegawai yang berasal dari Lombok pulang kampung. Gili menjadi sepi.


Beberapa layanan Kesehatan ketika pertama kali pandemic muncul tampak kocar-kacir. Tidak beda dengan di Senggigi, beberapa isu Covid 19 memiliki multi tafsir. “Saya dulu mengantar seseorang terkena gigitan ular. Tetapi, pihak puskesmas di Senggigi mengatakan bahwa orang itu terkena Covid. Saya berantem dengan nakes di sana. Orang digigit ular kok dibilang Covid.”


Penjelasan tentang Covid 19 memang simpang siur. Pada awal pandemic di Gili, semua klinik di sini tutup. Gili Trawangan tidak mempunyai Puskesmas. Dia hanya memiliki Puskesmas Bantuan. Kadang mereka buka, tetapi kadang tutup. Walaupun begitu, sering kali masih bisa dikontak dan mereka merespon cukup cepat.


Kekurangan klinik ini mengakibatkan pemerintah meminta pemilik salah satu klinik swasta di Gili untuk tetap buka. Karena memiliki modal yang besar, Klinik di pinggir pantai dekat dermaga itu masih buka. “Sewaktu ramai kita untung besar, sekarang kalau sepi ya tidak ada salahnya tetap buka,” ujar salah satu nakes di klinik itu. 


Gili memiliki keuntungan dibandingkan pulau Lombok. Karena berbentuk pulau yang sangat kecil, maka dengan mudah dia dilockdown. “Salah satu keunggulan kita mengapa kita semua buka masker, karena dulu waktu awal pandemic, semua pegawai dan penduduk dari luar Gili kita ungsikan. Setelah itu kita rapid semua orang yang sakit. Dermaga kita tutup. Semua hanya boleh membawa bahan makanan di dermaga Lombok dan ada perahu khusus kita yang mengambil suplai makanan ke sana. Pembawa makanan pun harus menunjukan surat rapid. Selama tiga bulan lebih kita tidak ada orang masuk. Setelah itu, kita mulai terbuka ketika pemerintah menyuruh semua yang masuk Lombok melakukan rapid tes antigen. Saya sudah melakukan tes di pulau ini sebanyak 1800 an subjek dan semuanya negative. Di sini kini hanya orang local, orang luar yang memiliki bisnis karena menjaga asset, dan turis.”


Keuntungan dari jarang ditemuinya pasien negative adalah beberapa sekolah ada yang membiarkan anak didiknya belajar. Walau masih dibatasi, tetapi beberapa diantara mereka sudah dengan bebas belajar di sekolah.  


Gili Seperti Pulau Kosong


Gili memang masih sepi. Melihat data jumlah turis yang masuk di dermaga, jumlahnya menurun drastic. Di saat normal, sehari orang masuk ke Gili sekitar 5000 per hari. Kini di saat ramai paling banyak 1000, itupun di waktu libur dan di tahun ini hanya terjadi sekali di waktu Nyepi. Kalau hari biasa Senen sampai Kamis kadang hanya 20-50 orang. 


Saya bertanya kepada beberapa orang, mereka memprediksikan hanya 10% dari total 100% unit usaha yang masih mampu bertahan. Kalau kita susuri jalan di pinggir pantai, hampir di semua sisi pulau banyak unit usaha yang tutup. 


Para penduduk local yang biasanya menyewakan tanahnya untuk usaha, mulai mencari nafkah dari laut. Saya mencoba berkeliling ke warung kecil, hampir mereka tidak menyediakan ayam atau daging. Terbanyak mereka menyediakan beberapa jenis ikan sebagai lauknya. Beberapa penduduk local masih menggunakan panah untuk berburu ikan. Beberapa kapal snorkling kini sudah berubah fungsi sebagai kapan penangkap ikan. Di tempat saya menginap, ketika mereka ingin makan malam, maka sore harinya mereka membawa pancing dan mencari protein ikan di laut. 


Kesehatan masyarakat Gili diperhatikan oleh pemerintah melalui banyak penyuluhan. Bahkan wakil Gubernur NTB pernah datang langsung untuk memberikan penyuluhan di Gili dan bantuan. Walaupun demikian, beberapa penduduk yang saya tanyai tidak merasa ikut terlibat. Untuk masalah bansos saja mereka masih pusing bagaimana cara mendapatkannya. Ada yang mendapatkan karena diberitahu saudara dan ada yang mendapatkannya melalui grup WA warga local.


Hak Manusia


Gili dan Senggigi adalah tantangan bagi NTB ke depan. Beberapa pengusaha lokal memprediksi apabila keadaan tidak berubah, maka dapat dipastikan mereka hanya mampu bertahan selama tiga tahun. “Salah satu villa besar di sini menjelaskan bahwa dia mengeluarkan 250 jt sebulan semenjak awal pandemic untuk melakukan maintenance dan membayar pegawai. Apabila tidak dibayar, maka membayar kerusakan akibat ketidakadaan maintenance jauh lebih besar,” ujar anggota kelompok pengusaha Gili.


Bantuan pemerintah untuk para pengusaha di sini dinilai masih jauh. Klinik swasta satu-satunya yang buka pun berkata bahwa untuk APD dan fasilitas lainnya mereka membeli sendiri. Para pengusaha berusaha untuk bertahan dengan caranya masing-masing tanpa dibantu pemerintah daerah atau pusat. 


Satu-satunya kabar yang menurut mereka baik adalah adanya fasilitas 100 orang per hari warga Gili untuk divaksin. Bulan Juni, beberapa hotel sudah mulai penuh dibooking oleh warga Australia. Mereka memperkirakan bulan Juni negara Australia sudah bebas pandemic dan membiarkan warganya datang ke Gili. Di daerah Senggigi sendiri beberapa hotel besar memberikan vaksin untuk pegawainya. Mereka bersiap-siap menyambut wisatawan yang diperkirakan akan membludak di tengah tahun ini. 


Untuk mengantisipasi permasalah yang muncul ke depan, maka seharusnya pemerintah mulai memikirkan tentang bantuan ekonomi. Hak untuk mendapatkan pekerjaan harus mulai dipikirkan. Apabila masih dirasa sulit membantu pengusaha besar, pemerintah bisa memulai dengan menyediakan alat untuk menangkap ikan dan berkebun yang lebih modern. Membentuk perkumpulan untuk meningkatkan keahlian diantara mereka, sehingga mereka tidak hanya bergantung pada bidang pariwisata.

 

Di bidang lainnya, seharusnya pemerintah memenuhi pembangunan tempat ibadah pasca gempa, memberikan penyuluhan dan informasi yang akurat tentang Covid. Kapan dan bagaimana cara Covid 19 ini berakhir. Pemerintah juga harus memberikan layanan Kesehatan yang baik dan memperbaiki puskesmas local; meningkatkan pengetahuan nakes dan bekerja sama dengan semua bagian masyarakat untuk tetap menjaga prokes.


Di bidang Pendidikan sebaiknya fasilitas untuk pengadaan internet dan gadgetnya mulai dipenuhi. Subsidi kepada toko-toko Hp dengan berbagai bentuk bisa dilakukan, sehingga semua lapisan anak bisa mengakses Pendidikan. 


Bagaimanapun permasalahan ini apabila tidak mulai dicarikan solusinya akan berdampak pada kualitas kehidupan manusia yang akan semakin menurun pasca pandemic dan kita akan semakin sulit keluar dari dampaknya. Buat saya pribadi sebenarnya saya ingin Kembali bisa berkumul dengan teman-teman saya. Walaupun saya yakin hal itu sulit terjadi.


*Peneliti Senior di Human Rights Working Group/HRWG



×
Berita Terbaru Update