Notification

×

Iklan

Iklan

Dea, Gus Dur dan Dorce

Sabtu, 22 November 2025 | November 22, 2025 WIB Last Updated 2025-11-22T13:31:40Z


Penulis
: Jayadi (Ketua Lakpesdam PWNU NTB) 


“Ketika semua orang menolak dan menghujat pilihan hidupku, Gus Dur adalah sosok yang terdepan membela hak-hakku.” 

(Dorce)


OPINI - Diskusi publik soal Dea Lipa terus bergulir. Penampilannya yang dianggap “terlalu cantik” justru memicu polemik ketimbang apresiasi. Alih-alih disambut sebagai sesama warga negara, sosoknya justru dihujani narasi negatif. Foto-fotonya disebarkan tanpa izin, ditempelkan dengan fitnah yang menyakitkan, dan dibingkai dalam tone pemberitaan yang menghakimi.


“Sebuah akun media sosial memposting foto-foto saya dengan narasi yang tidak benar, penuh fitnah dan sangat melukai perasaan saya, keluarga saya, serta teman-teman yang selama ini mendukung saya,” kata Dea, dikutip dari Kompas.


Labelisasi datang cepat dan agresif: “penyimpangan sosial”, “perusak generasi”, “penyakit masyarakat”. Bahkan sebutan “Sister Hong” muncul di sejumlah media, sebuah kejatuhan etika jurnalistik yang “bikin ngenes”.

Kecaman demi kecaman muncul dari tokoh agama, ormas, hingga warganet. Dea ditolak, dicemooh, dianggap meresahkan, menipu publik, dan tidak sesuai syariat. Tidak ada ruang dialog, tidak ada upaya membimbing, apalagi mendampingi. Yang hadir justru ekspresi penolakan yang tumpah ruah seperti pesta moral.


Fenomena ini memperlihatkan gejala sosial yang mengkhawatirkan: penghakiman kolektif menguat, sementara kemampuan memahami keberagamaan melemah. Alih-alih berdialog berbasis tabayyun, pengetahuan, dan empati. Respons publik justru impulsif, moralistik, bahkan agresif. Kata “melukai” bukan lagi metafora.


Dea Lipa langsung dicap sebagai penista agama, penyakit masyarakat, bahkan penyebab datangnya “azab”. Jika respons sosial seperti ini dianggap wajar, bukankah ada yang sedang sakit dalam cara kita memandang sesama manusia?


Yang melemah bukan sekadar sopan santun sosial, tetapi kemampuan melihat manusia sebagai subjek bermartabat, bukan objek penilaian berbasis identitas. Penghakiman terhadap Dea bukan hanya problem etika, tetapi juga problem intelektual, ketidakmampuan membedakan fakta dari prasangka budaya.


Krisis Literasi Keberagaman


Keberagaman sering direduksi menjadi isu toleransi beragama. Padahal keberagaman jauh lebih luas: identitas gender, ekspresi diri, hak asasi warga negara, pengalaman kelompok minoritas, dan etika hidup bersama.


Institusi pendidikan jarang menyentuh isu gender dan inklusi secara ilmiah. Media kerap mengeksploitasi kisah waria sebagai sensasi. Wacana keagamaan pun sering berhenti pada tafsir normatif tanpa kedalaman teologis yang membebaskan. Akibatnya, opini publik bukan dibentuk oleh pengetahuan, tetapi bias budaya dan kepanikan moral.


Eksesnya, eksklusi sosial dinormalisasi. Kekerasan verbal dianggap “pantas”. Penolakan terhadap Dea dinilai demi ketertiban. Ketika ketidakadilan terasa layak, maka yang sesungguhnya memburuk bukan hanya nasib kelompok marginal, melainkan kualitas kemanusiaan masyarakat secara keseluruhan.


Belajar dari Gus Dur


Cara merespons kelompok minoritas dapat dipelajari dari teladan Gus Dur. Dalam kerangka pemikirannya, manusia dipandang sebagai manusia tanpa dikurangkan martabatnya karena identitas gender, orientasi seksual, status sosial, atau kelas ekonomi. “Siapa saja adalah warga negara yang punya hak sama.”


Humanisme Islam ala Gus Dur menegaskan, agama tidak boleh menjadi alat diskriminasi, dan keberagaman adalah fitrah. Karena itu, Gus Dur menempatkan waria bukan sebagai masalah sosial, tetapi sebagai sesama warga negara dengan hak politik, sosial, budaya, dan agama. Sikapnya bukan simbolik. 


Ia hadir dalam kegiatan komunitas waria, dan sebaliknya mengundang mereka ke forum-forum kebangsaan. Ia mengambil posisi publik bukan sekadar belas kasihan tetapi pengakuan terhadap hak. Dorce adalah saksinya. 


Dukungan Gus Dur membuatnya percaya diri menjalani hidup, bekerja, beragama, dan berkontribusi bagi masyarakat. “Gus Dur adalah penasihat, guru, dan ulama yang menjadi teman ketika banyak orang menghujat saya,” ujarnya, sebagaimana dikutip dari Kompas TV.


Di tengah melemahnya literasi keberagaman dan empati sosial, pelajaran dari Gus Dur menjadi penting. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak boleh diperlakukan berdasarkan stereotip, melainkan martabatnya.


Teladan itu juga relevan untuk melihat Dea Lipa, seorang anak yatim piatu sosial yang bertahan hidup sendirian sejak lahir, tumbuh dan menentukan pilihan hidupnya tanpa bergantung pada siapa pun. Kemampuan bertahannya seharusnya menyadarkan kita, sebelum menghakimi baiknya kita belajar memahami. Sebab ukuran kemajuan masyarakat bukan terletak pada seberapa keras kita menghakimi, tetapi seberapa mampu kita merangkul. [ ]

×
Berita Terbaru Update