Notification

×

Iklan

Iklan

Berziarah ke Dalam Diri

Saturday, December 11, 2021 | December 11, 2021 WIB Last Updated 2021-12-11T10:09:31Z

Gambar Ilustrasi (Sumber: Pesantren.ID) 

 

Opini, Selaparangnews.com - Waktu terus berjalan, mulai dari subuh hingga subuh lagi. Setiap detik itu sel-sel pada kulit mulai berkurang, keriput mulai menumbuh. Sampai suatu saat nanti, uban-uban mulai berceceran. Pada saat itu juga kita hanya perlu mengopi dan merokok—menunggu perintah Sang Khalik datang untuk pulang.


Sesaat, saya mengajak teman-teman untuk menziarahi—merefleksi ke dalam diri. Tentang apa-apa saja yang sudah dikerjakan, mulai sejak tangisan pertama hingga saat ini. Kalau boleh jujur, selama menggunakan umur yang telah diberi-Nya, apakah perbuatan baik yang kita lakukan sudah mencapai angka 50 persen? Dalam melakukan sesuatu, sudahkah kita berfikir, bahwa kita selalu berada dalam pengawasan-Nya? 


Tentu untuk menjawab pertanyaan ini, saya, kamu dan kita semua perlu melakukan tafakur lebih intens. Menyelami diri sendiri dengan lebih mendalam; Tidak hanya berfikir tentang segala maksud penciptaan-Nya. Melainkan dengan cara apa kita mensyukuri segala nikmat yang diberikan.


Jika kita merujuk pada usia, teman-teman yang berusia sama atau berpaut 3-4 tahun dengan saya, tentu dihadapkan dengan persoalan-persoalan sekarang—berkaitan dengan masa depan. Ada yang sibuk dengan perkuliahan, meraih gelar. Ada juga yang sibuk bekerja, sedang yang lain sibuk dengan keluarga baru (mengurusi anak, istri).


Kendati demikian, apakah kita tidak bisa meluangkan waktu (minimal lima menit) untuk bisa melakukan perenungan. Sebagai manusia yang telah diberi pinjam waktu oleh Si Pemilik waktu, rasanya lancang jika kita tidak bisa menyisihkan waktu untuk-Nya. Caranya tidak harus menyendiri di kamar, melakukan pendalaman-pendalaman yang berbau sufistik, meskipun akan lebih baik jika dikerjakan.


Seorang teman pernah berkata, “Khan, kalau saya ngopi dan ngerokok rasanya kok enak sekali. Nikmat Tuhan itu benar-benar terasa,” kata dia. Mendengar ucapan itu, sontak saya berpikir, ternyata untuk mensyukuri segala nikmat-Nya bisa dilakukan dengan berbagai macam cara.


Ketika kau merasa bersyukur dengan segala kenikmatan yang disajikan, menurut saya itu lebih baik, daripada kita melakukan solat, ngaji hanya karena ingin dipuji oleh orang. Beribadah namun tidak merasakan nikmatnya beribadah.


Teman-teman sekalian, kata ulama (yang saya yakini sebagai seorang Wali besar) asal Martapura, Kalimantan Selatan, TGH. Zaini bin Abdul Ghani atau lebih akrab disapa Abah Guru Sekumpul, tidak ada yang lebih nikmat kecuali makrifat. Pandangan mu hanya tertuju Allah SWT. Tidak ada selain Allah SWT. Hanya Allah, Tuhan bagi seluruh alam. Katanya, cara singkat dan cepat menuju itu hanya Solawat. Solawat, solawat dan solawat.


Habib Novel bin Al Idrus juga pernah mengatakan, amalan yang cepat sampai kepada Tuhan adalah solawat. Membaca solawat dengan berbagai keadaan pasti akan sampai kepada-Nya; Entah duduk, tidur, berkendara, ngopi dan lainnya—yang jelas tidak dibaca saat berada di kamar mandi, judi, dan perbuatan dosa sebagainya.


Teman-teman, solawat memiliki banyak manfaat dan khasiat. Persentase selamat dan maslahat di dunia akan lebih tinggi apabila solawat terus diamalkan, terlebih lagi untuk tabungan akhirat nanti.


Dalam suatu kisah, dulu ada seorang yang amal kebaikannya sangat sedikit. Hampir setiap hari melakukan maksiat. Saat berada di dalam fase penimbangan amal, berat keburukannya mengalahkan kebaikannya. Saat tenggelam dalam rasa takut, seseorang yang tidak dikenalinya datang membawa semacam (sejenis) kertas putih.


Kertas itu sangat ringan—lebih ringan dari kapas. Kemudian kertas itu diletakkan di atas neraca (timbangan kebaikan). Sesaat, neraca itu berubah—Amal kebaikan menjadi lebih berat dari amal keburukannya.


Kemudian orang itu bertanya, “Siapakah diri mu? Kertas apa yang kau bawa sehingga timbangan amalan ku berubah?" Lalu dijawab, “Akulah Muhammad SAW, Nabi mu. Kertas itu merupakan bentuk fisik dari solawat yang pernah kau baca. Meski hanya sekali dalam seumur hidup mu,” katanya. 


Teman-teman sekalian, Abah Guru Sekumpul pernah mengatakan, setiap orang yang membaca Sollah’ala Muhammad sebanyak seribu kali, tidak akan meninggal kecuali telah ditampakkannya surga di pada orang tersebut.


Se-sakit apapun kamu, seburuk apapun penderitaan mu, kamu tidak akan meninggal—kecuali telah melihat surga dengan mata mu. Begitu dahsyatnya pancaran manfaat dari solawat.


Tentu terlihat mudah untuk dikerjakan, tapi tidak. Sangat susah bagi potongan seperti kita ini. Kemudahan itu hanya ada dalam benak, tidak dalam penerapan.


Teman-teman, setiap hal bisa menjadi ibadah. Selama nawaitu mu menuju kepada keberkahan Tuhan. Ketika memiliki nilai (IPK) memuaskan kemudian merasa syukur, maka itu akan dihitung sebagai pahala atau contoh teman saya yang meminum secangkir kopi, dan dengan begitu dia akan dihitung mendapatkan keberkahan.


Pun sebaliknya, seandainya ibadah (solat, ngaji, puasa) dilakukan dengan unsur ria’—berharap dipuji orang lain atau merasa besar kepala, maka berhati-hatilah. Sebab setan bersemayam didalamnya. Seperti diketahui, setan memiliki 1000 cara untuk menjauhkan manusia dengan Tuhan.


Saya teringat suatu kisah, yaitu kisah tentang setan menggendong orang menuju masjid. Pada zaman dahulu, ada seseorang tunanetra yang rajin beribadah. Ketika waktu solat telah tiba, dia segera menuju masjid, berjalan sesuai arah tempat azan dikumandangkan—selalu begitu.


Hingga suatu saat, setan datang menolongnya—menggendong menuju masjid. Merasa ada sesuatu yang aneh, orang ini bertanya pada setan. "Siapa kau?” Dijawab setan, “aku adalah setan,”


Kemudian percakapan keduanya dimulai. Setan menjelaskan bahwa ia membantunya karena suatu hari, saat orang tersebut berjalan menuju Masjid, dia terjatuh. Karena jatuhnya itu, setan mendapatkan informasi, bahwa orang tersebut diringankan jalannya setengah menuju surga. Tidak ingin orang tersebut terjatuh lagi, akhirnya setan menggendongnya menuju masjid.


Dari kisah tersebut kita semakin sadar, bahwa setan tidak akan pernah kehabisan akal untuk menyesatkan, mencelakai, menghalangi manusia menuju kebaikan. Satu hal mesti kita sadari; Setan tidak pernah menginginkan kebaikan untuk manusia, sedang Tuhan, Allah Azza Wajalla selalu memberikan yang terbaik untuk manusia.


Teman-teman, menziarahi diri sendiri itu perlu dilakukan. Sebagai bentuk evaluasi; Apa saja yang pernah disentuh tangan, ke mana saja arah kaki melangkah, apa saja yang dilihat oleh mata, apa saja yang pernah dikatakan (terucap) oleh lisan, dan sebagainya. Jika baik, kita meneruskan, juga sebaliknya.


Selain itu, dengan melakukan ziarah terhadap diri sendiri, kita juga bisa menyusun strategi tubuh agar terhindar dari godaan setan. Seperti meningkatkan kewaspadaan terhadap apa yang akan disentuh oleh tangan, kemudian berhati-hati dalam melihat sesuatu, memilah dan memilihi bermacam suara (gibah, gunjing, dll) yang masuk ke dalam telinga dan sebagainnya.


Karena sesuatu yang kita anggap baik belum tentu baik dan dihitung sebagai ibadah, tatkala tidak dilandasi oleh nawaitu yang baik. Khawatirnya, jika pikiran dan perilaku yang kita anggap baik tersebut tidak dilandaskan dengan nawaitu yang baik pula, tentu secara transaksi kita tidak mendapatkan keberkahan—potensi diikuti gerakan masif setan akan besar. Dan celakanya, jarang diantara kita menyadari hal itu.


Berziarah berarti mengunjungi. Ketika berziarah ke kuburan, setidaknya ada dua hal yang secara sadar kita pikirkan. Pertama, mengingatkan diri bahwa kita akan mati. Kedua, mendoakan orang yang telah mati.


Ketika berziarah, bagi saya (mungkin) anda juga, tidak lengkap rasanya jika tidak membersihkan makam orang  yang kita kunjungi juga makam di sekelilingnya. Dan lebih sempurna jika makam itu disiram.

Konsep ziarah pada diri sendiri sebenarnya, sesederhana itu. Saat melakukan ziarah ke dalam diri, tentu kita menyadari kesalahan, kekhilafan. Baik yang dilakukan dalam keadaan sadar maupun tidak sadar—dengan begitu, secara tidak langsung kita merasa berdosa, lancang kepada Tuhan dan meminta ampunan-Nya. Kemudian menyiram diri  (maksudnya bukan fisik; jika disiram maka akan basah) dengan ber-istigfar, zikrullah, membaca solawat.


Dengan begitu, “makam” yang berada dalam diri akan bersih dan semakin bersih. Tentu menziarahi diri ini tidak hanya dilakukan sekali setahun (Setiap lebaran misalnya), sebulan atau seminggu. Melainkan setiap hari. Ibarat rumah, setiap hari harus disapu—bahkan dua hingga tiga kali. Pun demikian dengan diri (hati). Kebersihannya tidak pernah abadi. Selalu ada debu-debu kehidupan yang membuatnya kotor.


Teman-teman, dalam menziarahi diri tidak boleh ada kata jenuh atau bosan. Kita tidak mungkin bisa mengkonstruksi kehendak Tuhan; bahwa dunia yang kita pijaki ini merupakan sarang tipuan. Kita tidak boleh jauh dan terlepas dari quran dan hadis, meski terkadang bahkan sering melupakannya.


Teman-teman, hindari perbuatan sengaja yang mengotori diri mu. Jauhkan hal-hal yang berkaitan dengan aib orang lain, membuka aib sendiri—Ketika melihat, mendengarkan, mengetahui aib orang lain, tutupilah. Seakan-akan itu aib mu sendiri. Sisihkan prasangka buruk mu terhadap orang lain, karena perbuatan itu yang mengikis kebersihan dalam hati mu. 


Berusahalah untuk mengerjakan apa yang diperintahkan, jauhi apa yang dilarang-Nya. Terkahir, jangan lupa ngopi dan kasihi kekasih mu.



Penulis:  Zulhaq Armansyah

Mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Mataram



×
Berita Terbaru Update