Notification

×

Iklan

Iklan

Sudahi Galaumu, Ini Tips Mengendalikan Rasa Kecewa Menurut Kekasih Tuhan

Saturday, May 28, 2022 | May 28, 2022 WIB Last Updated 2022-05-28T05:42:45Z
Gambar Ilustrasi

Opini, Selaparangnews.com - Tidak mudah memang merelakan segala apa yang telah kita anggap pernah dimiliki hilang dan pergi begitu saja, lebih-lebih itu merupakan sesuatu yang amat sangat dicintai dan disenangi. 

Tentu sangat sulit bagi kita jika diminta untuk berlapang dada atas harapan dan keinginan yang belum tercapai, seperti kehilangan orang tua, berpisah dengan kekasih, rumah tangga yang hancur, anak yang dicintai meninggal dunia, dililit hutang berkepanjangan, tak kunjung naik jabatan, atau ditipu orang lain. 

Namun, mau sampai kapan pikiran dibiarkan dengan perasaan kecewa itu? Hati galau tak berkesudahan? Dihantui prasangka buruk? Menghamba pada kebencian? Lalu, hendak sampai kapan pembiaran segala kekacauan bertahta dalam diri hingga sekian waktu malah menjadi-jadi?

Sekarang! Kiranya perlu menelaah dan merenungi nasehat-nasehat mutiara dari masa lalu. Menarik diri sambil menyesali betapa hubungan kedekatan dengan Tuhan yang begitu rapuh, terkadang dengan congkak menuduh Tuhan tidak adil, menggerutu bahkan mengancam Pencipta. 

Tentu saja, ini adalah hal sia-sia sebab di sisi Yang Maha Kuasa, takkan pernah secuil pun mengurangi apa-apa baik keadaan dan otoritasnya. Demikian, sebegitu pentingnya mengetahui Pencipta dan memahami kode-kode dari nilai-nilai ilahiyah melalui semesta.

ربما أعطاك فمنعك و ربما منعك فأعطاك

"Boleh jadi, Allah memberimu (sesuatu) kemudian tidak memberikan sesuatu (yang lain). Dan boleh jadi Allah menunda suatu pemberian dengan menganugerahkan pemberian yang lain," demikian Syekh Ibn Athaillah berpesan.

Sangat boleh jadi Allah menunda suatu pemberian dan sangat mungkin penundaan itu adalah esensi dari anugerah itu sendiri.

Keinginan sudah tercapai, harapan sudah sukses, hasil jerih payah sudah dinikmati dan tentu saja ada perasaan bahagia. Kebutuhan sudah tercukupi. Rumah tangga sudah harmoni. Popularitas di mana-mana. Kaya iya dan segala apa sudah bisa dilakukan semau-maunya.

Menurut Syekh Al-Syarqawi, salah satu guru besar pensyarah dari hikmah-hikmah kalimat bijak Ibnu 'Athaillah, kenikmatan yang dirasakan ini memang pemberian dariNya, sangat boleh jadi yang tidak Allah berikan adalah petunjuk untuk tetap taat, menerima segala ketetapan dan senantiasa diberikan pemahaman tentang ketuhanan.

Di sisi lain, justru apa yang diinginkan tidak diperoleh. Beberapa rencana dan agenda-agenda besar di masa depan justru terbengkalai bahkan, gagal total. Cobaan silih berganti saling berantrian, banyak hutanglah, hidup terasa sulit, belajar membosankan, bekerja tak bersemangat dan hidup yang selalu diancam oleh kekhawatiran prasangka. 

Seakan-akan Tuhan sedang berpaling dan tidak mau memberikan pertolongan untuk menyelesaikan obsesi-obsesi yang tak berkesudahan itu. Padahal, Allah tidak menuruti keinginan seorang hamba adalah sebentuk pemberian yang sangat mulia nan agung. 

Kenapa demikian? Sebab, Allah ingin memposisikan hamba tersebut bersamaNya agar terlepas dari kepentingan-kepentingan yang bernuasa pribadi. Tidak merasa seolah-olah Tuhan bisa didikte dan ditentukan pilihan-pilihanNya.

Harapan memang tidak tercapai, keinginan yang seharusnya sudah digapai masih tertunda dan cita-cita seakan tidak mendapat restu dari Allah. Kiranya perlu mendidik anggapan bahwa Tuhan memiliki otoritas yang tak satupun dapat menawar. 

Sangat boleh jadi, Allah justru hendak menganugerahkan balasan yang paling sempurna dan tidak ada bandingannya di dunia. Sejurus kemudian, memberikan derajat yang istimewa, menjadikan seseorang sebagai orang yang mulia, diposisikan selayaknya orang-orang suci serta dianugerahi keistimewaan sebagaimana orang-orang yang adiluhung di sisiNya. 

Lalu, Anugerah manakah yang lebih baik dari ini? Lebih mulia manakah pemberian yang Allah kehendaki daripada anugerah yang diinginkan oleh seorang hamba? Lebih agung manakah posisi yang dikehendaki oleh Allah daripada yang dielu-elukan oleh seorang hamba?

Memiliki prinsip untuk rela memang tidak mudah. Tetapi, bukan tidak mungkin untuk dicoba. Sebab, merelakan hanya dimiliki oleh mereka yang tidak pernah merasa memiliki. 

Sehingga, segala apapun yang pergi, tidak pernah diperjuangkan mati-matian untuk kembali. Apalagi dengan cara mengorbankan hak-hak orang lain, merendahkan sesama dan merampas kesejahteraan. 

Tentu hal ini bukan berarti menegasikan sikap menjaga dan waspada, melainkan tidak terlalu merasa menggenggam dan bersikap sekedarnya saja. Demi apa? Demi mengendalikan (pe)rasa(an) yang sedikit-sedikit gampang kecewa.*


Penulis: Ach. Yani el Rusyd Lurah Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF Al-Farabi Kabupaten Malang Jawa Timur, asal Borneo, Pontianak, Kalimantan Barat.


×
Berita Terbaru Update