Notification

×

Iklan

Iklan

Warga Terdampak Pelebaran Jembatan Songak Mengaku Terpaksa Terima Ganti Rugi Karena Merasa Ditekan

Wednesday, June 30, 2021 | June 30, 2021 WIB Last Updated 2021-06-30T12:55:06Z

Potret Jembatan Desa Songak yang akan diperlebar


Lombok Timur, Selaparangnews.com - Belasan warga yang terdampak pelebaran Jembatan Desa Songak, Kecamatan Sakra, Lombok Timur mengeluh soal proses ganti rugi pembebasan lahan proyek tersebut yang dinilainya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah.

Pasalnya, proses pembebasan lahan dan penentuan jumlah hak ganti rugi yang diterima oleh belasan warga tersebut tidak diketahui secara terperinci, melainkan dibayar secara gelondongan begitu saja.


Pemerintah Daerah dianggap tidak memberikan ruang sedikit pun bagi warga untuk melakukan tawar-menawar harga. Malah cenderung ditakut-takuti akan menitipkan pembayaran itu di pengadilan jika menolak.


Dengan kata lain, yang akan berhadapan dengan warga nantinya ketika ada yang menolak adalah pengadilan sendiri. Karena itulah, kata Sabarudin, salah satu Warga Desa Songak yang terdampak pelebaran Jembatan tersebut, pihaknya tidak bisa berbuat banyak selain memendam ketidak puasannya itu.


Dia mengibaratkannya seperti makan buah simalakama, diterima kecewa tidak diterima justeru akan berhadapan dengan hukum.


"Kita tidak bisa menolak, karena terus ditakut-takuti kalau kita menolak akan berhadapan di pengadilan," ujarnya. Rabu, 30/06/2021.


Sabaruddin mengatakan, rerata dari mereka menerima kesepakatan ganti rugi pembebasan lahan itu secara terpaksa lantaran berada dalam tekanan rasa takut untuk berhadapan dengan hukum.


"Kami orang Desa yang tidak paham dengan hukum merasa takut disebutin pengadilan, makanya mau tidak mau kami terima meski sebenarnya dalam hati kami kecewa" keluhnya.


Apalagi, lanjutnya, jika ke pengadilan dengan uang sendiri, maka akan semakin menyusahkannya sebagai orang yang memang sudah susah. "Kita mau pakai uang dari mana untuk ke pengadilan, malahan kita merasa takut," pungkasnya.


Warga lain yang juga terdampak bernama Sabirin menyampaikan hal yang sama. Katanya, tidak ada pembahasan tentang harga sebelumnya, tapi tiba-tiba pemerintah daerah datang meminta mereka untuk tanda tangan surat pembayaran.


Dia mengakui bahwa memang pernah bertemu dengan pemerintah Kabupaten, tapi saat pertemuan yang dilakukan selama dua kali itu tak pernah membahas soal harga tanah atau jumlah ganti rugi secara terperinci. "Pokoknya ditentukan secara sepihak," imbuhnya.


Pasalnya, kata dia, setiap kali mengajukan pertanyaan, tidak pernah dijawab dengan penjelasan yang masuk akal, melainkan selalu mengatakan akan menitipkannya di pengadilan, di mana hal itu membuat warga merasa takut dan tertekan.


Sebenarnya, kata Sabirin, warga tidak mempermasalahkan jumlah uang ganti rugi yang diterima itu, tetapi bagi mereka yang terpenting adalah komunikasi dan penjelasan secara terperinci supaya ada upaya tawar menawar antara warga dengan pemerintah.


"Kami tidak tahu apa dasarnya menentukan harga tanah kami," imbuhnya.


Ditambahkan Mustiarep, warga lain yang juga terdampak pelebaran Jembatan di Songak itu bahwa dia sempat ingin mengembalikan uang yang sudah ditransfer pemerintah itu ke Pemerintah Desa. Tapi Pemerintah Desa, katanya, berjanji akan segera mengkomunikasikan hal itu ke Pemerintah Kabupaten.


Mustiarep menuturkan bahwa dirinya adalah warga yang paling banyak diambil tanahnya, tapi justru mendapat uang ganti rugi yang sedikit. Menurutnya, biaya ganti rugi yang diberikan pemerintah daerah itu tidak akan cukup untuk memperbaiki rumahnya. Karena memang, hampir setengah rumahnya akan terpotong dengan adanya pembebasan lahan itu.


"Bangunan saya yang kena itu, ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dan belum bangunan lain itu juga kena," jelasnya.


Senada dengan warga lain, Mustiarep juga mengatakan bahwa tidak ada pembicaraan tawar-menawar harga sebelumnya, tiba-tiba sudah tertera harga yang harus mereka terima dan ditandatangani. 

"Tidak ada, sudah ada harga di sana katanya itu dari Appraisal," ujar Mustiarep seraya mengatakan supaya sama-sama baik maka seharusnya ada upaya tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan.


Sementara itu, Kepala Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Lombok Timur Jumase saat dikonfirmasi soal keluhan warga itu mengklaim bahwa pihaknya sudah selesai melakukan sosialisasi sebelum dilakukan pembayaran.


Bahkan, kata dia, pemerintah tidak akan bisa melakukan pembayaran apabila semua persyaratan administrasinya belum selesai, termasuk tanda tangan persetujuan dari warga yang terdampak.


Jumase mengatakan, terkait harga atau jumlah uang ganti rugi yang diterima warga bukan ranahnya, melainkan ranah Appraisal yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk melakukan penghitungan, berapa jumlah kerugian yang harus dibayar pemerintah kepada warga.


Appraisal itulah, kata dia, yang akan melakukan pertemuan langsung dengan warga pemilik lahan. Dan meskipun setelah keluar hasil penghitungan dari Appraisal, kata Jumase, pihaknya tidak bisa serta merta melakukan pembayaran, tetapi harus disosialisasikan lagi ke warga di mana di sana warga boleh menyatakan untuk menolak harga itu atau menerimanya.


Saat ditanya bahwa masyarakat boleh menolak tapi akan berhadapan dengan hukum, Jumase mengklaim bahwa itu adalah amanat undang-undang.


"Tidak ada intimidasi atau penekanan, tapi aturannya memang seperti itu," kata dia sembari menyebutkan bahwa aturan itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012  tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum.


Landasan hukum lain yang disebutkan Jumase adalah Perpres Nomor 148 tahun 2015 tentang perubahan keempat atas Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah.


Landasan hukum lain yang juga disebutkan Jumase adalah Peraturan Kepala BPN RI Nomor 5 Tahun 2012 yang diubah dengan Peraturan BPN Nomor 6 tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.


Menurutnya, aturan di atas merupakan bentuk pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi bahwa kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.


Menurutnya, dalam kasus Pelebaran Jembatan di Desa Songak itu, pemerintah sudah melakukannya berdasarkan prosedur hukum yang berlaku, mulai dari sosialisasi sampai pembayaran.


Dia mengklaim bahwa penentuan harga oleh Appraisal itu dilakukan dengan berwawancara langsung dengan warga, meskipun menurut warga Appraisal tidak pernah melakukan itu.


Menurut Warga yang ditanya media ini, Appraisal yang datang ke rumah mereka itu hanya datang melihat-lihat, kemudian mencatat lalu pergi. Tapi menurut Jumase, hal itu tidak mungkin.


"Tidak mungkin seperti itu," ucapnya seraya mengatakan bahwa setelah Appraisal selesai menghitung, maka hasilnya itu diserahkan ke Pemerintah Daerah, dalam hal ini adalah Bagian Tata Pemerintahan untuk disampaikan kembali ke masyarakat.


"Namanya sosialisasi kembali, diumumkan kembali," sambungnya.


Ia mengklaim bahwa pengumuman hasil pemeriksaan Appraisal yang disampaikan ke masyarakat itu bersifat terperinci sesuai dengan kondisi lahan warga yang terdampak dari pelebaran Jembatan tersebut, meskipun sebenarnya hal itu juga dibantah oleh Warga.


"Kalau sekarang warga mempermasalahkan apa yang sudah ditandatangani itu, maka bukan ranah kami lagi, karena ranah kami di Tata Pemerintahan adalah membayar atas dasar hasil penghitungan dari Appraisal tadi, kalau itu selesai, maka selesailah tugas kami, dan jika mau menolak maka silakan lewat pengadilan" pungkasnya. (yns)

×
Berita Terbaru Update