Notification

×

Iklan

Iklan

Event Budaya Bejango Bliq Kembali Digelar Masyarakat Desa Songak

Thursday, November 4, 2021 | November 04, 2021 WIB Last Updated 2021-11-04T05:39:39Z

Mastur Sonsaka, Ketua Lembaga Adat Darma Jagat Desa Songak bersama masyarakat saat melakukan ritual Bejango Bliq 

Lombok Timur, Selaparangnews.com - Event Budaya Songak Bejango Bliq kembali digelar. Pelaksanaannya kali ini merupakan yang ke sepuluh.

Bejango bagi masyarakat Desa Songak, Kecamatan Sakra, Lombok Timur, merupakan salah satu tradisi yang diwarisi dari leluhur di mana keberadaannya masih tetap eksis di tengah gempuran era modern saat ini.


Tradisi itulah yang dijadikan sebagai acara tahunan oleh Lembaga Adat Darma Jagat Songak. Selain sebagai atraksi budaya, juga menjadi penyempurna dari ritual yang dilaksanakan secara individu.


Kegiatan itu digelar selama dua hari yakni tanggal 3 sampai 4 November 2021. Terpusat di Masjid Tua Songak.


Ketua Panitia Bejango Bliq, Rof'il Khairudin menjelaskan bahwa kegiatan itu terlaksana selama tiga bulan lamanya, yakni mulai bulan Muharam, Safar, hingga Rabiul Awwal sebagai puncak kegiatan.


Dalam tiga bulan itu, paparnya, warga setempat setidaknya menggelar beberapa ritual adat, seperti Bubur Beaq pada bulan Muharam, Bubur Putiq pada Bulan Safar, dan maulid adat jariq minyak Songak serta terakhir ialah Bejango.


"Warga Songak memiliki prinsip lempot pumbak, itu sebagai prinsip keilmuan," ujar pria yang akrab disapa Rof'il ini. 


Ketua Lembaga Adat Darma Jagat Songak, Mastur Sonsaka menjelaskan bahwa munculnya tradisi tersebut berawal dari pesan leluhur dan sudah secara turun-temurun diyakini oleh warga setempat.


Pesan leluhur itu, bebernya, ialah  ketika ingin bertemu, memiliki hajat, atau sedang mengalami sakit berat, maka datanglah melalui masjid menuju ke makam (petilasan, red). Konon, ujarnya, masjid itu sebagai tempat tinggal sang leluhur. 


"Leluhur kami memesankan bahwa kalau mau bertemu atau memiliki hajat untuk datang ke petilasan, harus lewat masjid dulu. Kemudian inilah yang menjadi tradisi kami," ucapnya. 


Sebenarnya, sambung Mastur, bejango ini tidak hanya dilakukan sekali dalam setahun. Melainkan juga dilakukan setiap hari Senin dan Kamis. Namun pelaksanaanya itu bersifat pribadi.


Sedangkan yang dilakukan saat ini, kata dia, merupakan acara tahunan yang dilakukan secara kelembagaan. Bahkan bisa dikatakan sebagai penyempurna dari pelaksanaan ritual yang dilaksanakan secara individu.


"Ini kami lakukan dalam rangka penyempurnaan dari yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat," ujarnya. 


Ritual tradisi ini, paparnya, dilakukan selama dua hari, yakni pada sore hari minggu dan Rabu, selanjutnya pagi Senin serta Kamis.


Ritual sore itu, terang pria yang duduk di BPPD Lotim ini disebut Bejango Buwaraq. Artinya pemberitahuan kepada leluhur bahwa besok akan datang ke tempat tersebut. Sebagaimana yang diyakini oleh warga sekitar. 


Sedangkan untuk puncak acara yang dilaksanakan pada pagi harinya disebut Bejango Nyaur. Artinya membayar nazar bagi yang memiliki hajat.


Mastur menjelaskan, ritual ini sendiri dimulai dari masjid, dengan membawa sesangan dan sanganan sebagai rukun dari prosesi  itu. Di lokasi yang sama, kata dia, warga memanjatkan do'a selamat kepada sang khaliq sebagai penguasa atas segalanya.


Seusai memanjatkan do'a, warga menikmati hidangan yang dibawa itu (sanganan,red). Setelah itu masyarakat membasuh muka di samping mimbar, yang dibimbing oleh tetua desa tersebut.


"Seusai prosesi di masjid, warga desa itu berjalan menuju makam. Dan melaksanakan ritual yang sama," imbuhnya. 


Songak, ucapnya, telah ditetapkan sebagai salah satu desa wisata yang ditetapkan melalui surat keputusan Bupati Lotim, HM Sukiman Azmy.


Namun demikian dirinya mengaku belum melihat langkah pemerintah setempat menyambut hal itu. Lantaran itu, ia meminta kepada dinas terkait untuk mendampingi Pemdes di wilayah itu.


"Ini bukan hanya atraksi wisata, tapi bagaimana mempertahankan warisan leluhur agar dikenal ke generasi selanjutnya," ucapnya


Sekretaris Daerah Kabupaten Lombok Timur, HM Juaini Taofik, menjelaskan setiap kehidupan pasti menemukan masalah. Begitulah, terangnya, maksud dari tema tersebut.


"Aig Meneng Tunjung Tilah Empaq Wau, setiap kehidupan itu pasti memiliki masalah," jelasnya


Sesenggak suku sasak ini  kata pria yang akrab disapa kak Ofik itu, masih relevan dengan keadaan saat ini. Banyak cara menghadapi masalah tergantung individu.


Ungkapan suku sasak itu, bebernya, telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW, Bagaimana Nabi menyelesaikan konflik antara kaum pada waktu itu.


"Kata ini bisa menjadi legasi berkehidupan," ujarnya


Dirinya menceritakan belajar dari desa wisata yang sukses dengan destinasinya. Banyak mendatangkan manfaat seperti lapangan kerja baru, dan banyak pendatang yang akan membawa duit.


Desa wisata Seruni Mumbul misalnya, membangun wisata pada tahun 2018 yang lalu. Hanya memanfaatkan menanga dan membuat ikon menara Eiffel. 


Desa tersebut, ujarnya, hanya mengandalkan anggaran dana desa sekitar Rp 600 juta untuk membangun infrastruktur destinasi itu. Keberadaan wisata itu, memberikan efect domino bagi desa tersebut.


Ia memaparkan, untuk membangun desa itu melalui strategi yang disebutnya tiga A. Yakni aksesebiliti, amenities dan atraksi.


"Tapi tetap prinsipnya menggunakan Aig Meneng Tunjung Tilah Empaq Wau," pungkasnya. (SN) 

×
Berita Terbaru Update