Notification

×

Iklan

Iklan

Kematian Sokrates dan Kondisi Kita

Sunday, May 29, 2022 | May 29, 2022 WIB Last Updated 2022-05-29T07:33:16Z

Gambar Ilustrasi

Opini, Selaparangnews.com - Sebenarnya tulisan ini adalah tulisan lama, hasil dari sisa-sisa obrolan yang tak sempat diselesaikan. 

Di tengah-tengah Lantunan Adzan subuh yang membahana memecah kesunyian dan rasa kantuk yang saling berkejaran ingin menguasai, sesekali hati bergumam “Pilih Tuhan atau tidur"? Karena moderat, maka kami memilih untuk tidur bersama Tuhan.


Itu adalah contoh prosa alegoris. Kalau Anda seorang penikmat sastra Sufi, tentu Anda sangat familiar dengan potongan-potongan kalimat seperti itu. 


Jika tidak, boleh jadi nalar liar Anda akan bergumam bahwa kalimat-kalimat semacam itu tidak ada bedanya dengan pernyataan para politisi yang selalu menutupi kejelasan. Anda tidak salah! Karena politisi memang demikian. 


Tetapi, salah besar jika hanya karena pernyataan semacam itu Anda menyimpulkan bahwa rerata para sufi adalah politisi. Kenapa? Politisi memang dikader oleh partainya agar cakap berbicara di depan publik, mengumbar janji manis dengan gaya dan semangat yang berapi-api. 


Jika perlu, mereka harus menangis tersedu-sedu persis di depan sorot kamera wartawan, atau berlagak sopan bak anak soleh. Karena itu memang bagian dari kurikulum kaderisasi mereka.


Bagaimana dengan para sufi?


Para sufi adalah orang yang paling bisa menggunakan bahasa, entah bahasa tubuh, alam, Tuhan, dan apalagi bahasa manusia. Para sufi bisa membuat Anda menangis dan lalu tertawa dengan cerita yang sama. 


Bukan hanya karena rerata dari mereka adalah orang sakti, tetapi karena mereka adalah orang-orang yang paling tahu dan mengerti bagaimana menggunakan bahasa agar apa yang disampaikan mendarat persis di hati pendengarnya. 


Baiklah! mari kita sudahi lelucon ini, untuk beranjak ke lelucon berikutnya.


Salah satu tokoh sentral dalam sejarah filsafat barat adalah almarhum Sokrates. Beliau adalah guru kesayangan Platon, salah satu orang hebat yang pernah hadir di dunia. 


Kata Alfred North Whitehead, seluruh rangkaian perkembangan filsafat barat adalah catatan kaki dari pemikiran Platon. Artinya? Jika Platon saja dinilai sehebat itu, apalagi orang yang mendidiknya, yakni Sokrates! 


Beliau boleh saja tidak memiliki karya tulis seperti para filsuf pada umumnya, tetapi justru karya terbesarnya adalah orang terhebat yang memiliki andil besar dalam merubah wajah dunia dan peradaban.


Sokrates memang ditakdirkan untuk hadir ke dunia namun tidak mewakili dirinya. Beliau diwakili oleh informasi-informasi yang kita terima dari para muridnya dan orang-orang yang mencantumkan namanya dalam buku-buku sejarah pemikiran, seperti: Platon, Aristophanes, Xenophon dan Aristoteles.


Apakah hal itu penting? Bukan Sokrates namanya kalau itu dipertimbangkan sebagai sesuatu yang lebih penting dari pada menjalani hidup dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan. Telanjang kaki di pasar Atena adalah aktivitasnya sehari-hari. 


Motifnya Cuma satu: menjumpai siapa saja dan kemudian berdialektika! 


Pernah suatu hari beliau berjalan-jalan di pasar Athena dan berkata, “Betapa banyak barang-barang yang tidak aku butuhkan," katanya penuh kemenangan. Bahkan karena aktivitas filosofisnya itu beliau dijuluki si “lalat pengganggu”.


Menurut Sokrates, tujuan manusia hidup adalah untuk mendapatkan keutamaan (Arete). Keutamaan ini diidentikkan dengan pengetahuan, karena itulah beliau mengeluarkan quotenya yang terkenal. “Orang yang berpengetahuan dengan sendirinya berbudi baik”. 


Apa maksudnya? jika Anda berbuat baik, itu karena Anda tahu (berangkat dari pengetahuan Anda) bahwa perbuatan itu baik. Sementara kejahatan adalah bentuk lain dari ketidak tahuan (Ignorance). 


Beliau juga pernah berkata bahwa hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang tidak pantas dijalani. Dan masih banyak lagi kutipan-kutipan bijak Sokrates yang bisa kita pelajari dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari.


Satu kutipan lagi dari Sokrates tentang hidup. Menurutnya, persoalan hidup itu tidak terletak pada hidup itu sendiri, melainkan terletak pada bagaimana kita menjalaninya. "It is not living Matters, but it is living rightly," kata dia. 


Sederhananya menurut Sokrates, hidup ini remeh, persoalan itu sepele, tergantung bagaimana anda menggembalakan irama dan proses dalam kehidupan. 


Jika demikian, maka pertanyaannya adalah mengapa beliau dihukum mati dengan menenggak secawan racun? Kesalahan macam apa yang telah beliau lakukan?


Rupa-rupanya apa yang dilakukan Sokrates dengan aktivitas kenabiannya adalah sesuatu yang paling ditakuti oleh para tempurung jahat, kaki tangan iblis dan para setanian minal jinnati wan naas. 


Sokrates dihukum mati karena telah berupaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Beliau berkeliling kesana-kemari bak rapsodi, hanya untuk mencari orang untuk diajak berdiskui mengenai berbagai hal: kebaikaan dan kebijaksanaan. 


Hanya karena aktivitasnya yang mulia itu beliau dituduh telah menghegemoni massa (meskipun tidak sampai demo berjilid-jilid dan lalu reunian) dan menistakan agama. Beliau dituduh telah mencuci otak (To Brain Wash) para pemuda, melawan serta menciptakan dewa baru di Atena.


Apa yang bisa kita gamit dari kisah tragis kematian Sokrates? pertama-tama hal itu merupakan satu bukti bahwa ilmu, filsafat, kebaikan, kearifan dan kebijaksanaan telah mati secara mengenaskan di bawah kebuasan politik-kekuasaan.


Pertanyaannya adalah, adakah kita sedang mengalami hal yang serupa di tanah para wali ini? Bukankah kita telah menyaksikan betapa para ilmuwan, ulama dan intelektual sudah tak bertaji dan bernyali lagi di hadapan kekuasaan? Suara mereka menjadi sedemikian cempreng oleh teriakan politik post truth yang semakin beringas dan jahiliyah? Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.


*Penulis: Muhammad Yunus, Wartawan Selaparangnews

×
Berita Terbaru Update