Notification

×

Iklan

Iklan

Kisah Captain Fantastic, Kepala Keluarga Dengan Prinsip Hidup Kembali ke Alam

Monday, May 30, 2022 | May 30, 2022 WIB Last Updated 2022-05-30T11:47:17Z

Gambar Ilustrasi

Opini, Selaparangnews.com - Apakah Anda pernah menonton film drama komedi Amerika Serikat yang berjudul Captain Fantastic?

Ya! Captain Fantastic adalah film yang menggambarkan kisah sebuah keluarga yang memilih untuk hidup terisolir dari kehidupan sosial. Mereka tinggal di tengah hutan dan menjadikan mini busnya sebagai rumah.


Fim besutan Matt Ross ini tayang perdana tanggal 23 Januari 2016 di Sundance Film Festival, sebuah event yang rutin dilakukan di Amerika Serikat dan merupakan salah satu festival bergengsi di dunia.


film yang dipilih sebagai film independen terbaik tahun 2016 oleh National Board Of Review Of Motion Pictures itu dibintangi oleh seorang sutradara, aktor dan seniman kawakan asal Negeri Paman Sam bernama Viggo Peter Mortensen, jr  yang berperan sebagai Ben Cash.


Di dalam film itu, Ben Cash digambarkan sebagai tipologi orang yang sangat menjunjung tinggi idealismenya yang sangat mengidolakan Avram Noam Chomsky, seorang Filsuf abad 21 kelahiran Pensylvania. 


Entah aspek mana dari pemikiran Chomsky yang menginspirasi Ben Cash sehingga dia dan anak-anaknya tak pernah ketinggalan merayakan hari kelahiran Chomsy. Entahlah, Saya tidak begitu tahu! 


Yang jelas, di dalam film itu, Ben Cash digambarkan sebagai orang yang sangat anti terhadap sistem politik Amerika Serikat.


Berangkat dari prinsipnya itulah, Ben Cash menjalani hidup sebagai seorang natruralis sejati. Dia membawa kelima anaknya hidup secara natural di tengah hutan, jauh dari hiruk-pikuk peradaban, polusi-polusi industri dan kendaraan, serta menggantungkan seluruh kebutuhan hidupnya pada alam.


Akan tetapi, betapapun Ben Cash bersikukuh mempertahankan prinsipnya itu, pada ahirnya runtuh juga. Terbukti di ahir-ahir film itu  Ben Cash kembali berbaur dengan masyarakat dan menjalani hidup normal sebagaimana orang-orang pada umumnya.


Pada titik itu sebenarnya, kita bisa menarik semacam catatan bahwa siapapun yang memperjuangkan sebuah prinsip yang tidak sesuai dengan hukum masyarakat dan hukum kehidupan, maka ia akan teralienasi dari pergaulan: dia akan merasa menjadi Alien atau makhluk asing di planetnya sendiri, merasa menjadi tamu di rumahnya sendiri dan merasa menjadi orang lain di dalam lingkungan keluarganya sendiri.


Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan Ben Cash – yang pada mulanya sangat anti terhadap kemajuan Amerika berserta sistem kehidupan yang ada di dalamnya – kehilangan idealismenya?


Sebenarnya, persoalannya bukan pada si Captain Fantastic itu, Ben Cash tetap idealis. Tetapi anak-anaknya, terutama anaknya yang paling tua bernama Bodevan Cash.


Karena mereka dididik dengan sangat baik, ketat dan disiplin, maka rerata dari mereka (secara intelektual) tumbuh menjadi anak-anak yang cerdas. Dalam arti bahwa wawasannya sangat jauh  melampaui wawasan anak-anak seusia mereka.


Bahkan ketika anaknya yang paling tua bernama Bodevan itu hendak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, enam perguruan tinggi terbaik yang ada di dunia siap menerimanya. Apa sebab? Karena dia tidak hanya berwawasan luas, tetapi juga sangat kritis dan menguasai banyak bahasa (Poliglot).


Tetapi apa yang terjadi? rupa-rupanya, setelah keluar dari hutan, Bodiven Cash mulai sadar bahwa pengetahuannya yang melangit itu tidak lebih penting daripada memilki sebuah perasaan sebagai bagian (Sense Of Belonging) dari peer group-nya (kelompok bermainnya) sendiri.


Dan barangkali itu adalah satu-satunya kekurangan yang dia miliki, Tapi baru disadari belakangan bahwa kekurangannya yang secuil itu hampir sebanding dari seluruh prestasi yang telah dia capai selama ini.


Sebenarnya, dari sisi kecerdasan dia memang selalu menjadi sorotan banyak orang. Tetapi pada saat yang sama, dia justru merasa asing dengan dirinya dan selalu merasa menjadi orang lain di antara teman-temannya sendiri. Bahasa sederhananya, dia selalu merasa menjadi tamu di mana pun dia berada.


Saya curiga bahwa apa yang dirasakan oleh Bo (nama akrab Bodevan Cash) adalah perasaan yang akan selalu hadir pada siapa saja yang bermental ekstrovert, yakni orang yang mengisolasi diri dari orang – atau dunia lain (anti sosial).


Nah bagaimana dengan dunia pengetahuan, kebudayaan dan peradaban? Apakah kita akan mengalami dan merasakan hal yang sama jika kita selalu menutup diri dari ilmu yang berkembang secara umum di lingkungan kita?


Jawaban saya adalah PASTI, titik! Dan dampak yang akan segera kita saksikan di depan hidung kita adalah akan selalu terjadi miskomunikasi antara kita dengan orang lain, akan selalu ada jarak yang merentang-menganga antara pengetahuan kita dengan pengetahuan yang berkembang di lingkungan kita secara umum.


Kenapa demikian? meminjam bahasanya H.G. Gadamer,hal itu terjadi karena ada dua Horison dalam hidup kita yang tidak melebur satu sama lain (Horizontverschmelzung)


Apakah sikap seperti itu salah? jika kita konsisten dan memiliki seperangkat epistemologi yang jelas dengan pendirian semacam itu, saya pikir itu bukanlah kesalahan, melainkan sebuah pencapaian.


Akan tetapi, akan menjadi kesalahan fatal apabila kita hanya mengetahui apa yang kita ketahui, tanpa pernah mau tahu apa yang diketahui orang lain. 


Pada titik itu sebenarnya, kita sama saja dengan melubangi tanah tempat kita berdiri dan terperosok ke dalamnya, lalu tetiba kita merasa sedang berada di dua tempat yang berbeda pada waktu yang sama: setengah diri kita ada di bumi dan setengahnya lagi ada di pikiran kita sendiri. 


Oleh karenanya, mari kita keluar dan melihat apa yang sedang terjadi di luar sana, supaya kita bisa berbicara dengan lantang kepada orang lain, persis seperti yang sering kita lakukan selama ini.


*Penulis: Muhammad Yunus

×
Berita Terbaru Update