Notification

×

Iklan

Iklan

Bansos dan Matinya Sistem Ketatanegaraan Kita: Sebuah Otokritik

Jumat, 25 Juli 2025 | Juli 25, 2025 WIB Last Updated 2025-07-25T09:27:31Z

Gambar Ilustrasi Pembagian Bansos

OPINI - Di atas kertas, sistem ketatanegaraan Indonesia adalah salah satu yang paling lengkap, rinci, dan hirarkis di dunia. Kita punya struktur dari pusat hingga desa, dari Presiden hingga Ketua RT. Semuanya punya tugas, fungsi, dan kewenangan yang jika dijalankan dengan semestinya, niscaya bisa menciptakan tatanan sosial yang adil dan tertib. Namun, ketika melihat praktik di lapangan, khususnya dalam penyaluran bantuan sosial (bansos), saya hanya bisa bertanya: apakah sistem ini masih hidup, ataukah hanya tinggal kerangka kosong yang tak lagi berfungsi?


Kegelisahan ini saya tulis sebagai bentuk otokritik. Bukan karena benci pada negara, tapi karena cinta pada republik ini yang mulai tersesat dalam kabut birokrasi dan ego sektoral.


Tak ada yang menyangkal bahwa bansos adalah bentuk nyata kehadiran negara di tengah rakyat. Tapi niat baik tak selalu berarti hasil baik. Dalam praktiknya, bansos justru seringkali menjadi pemicu konflik sosial di masyarakat. Warga bertengkar karena nama mereka tak tercantum dalam daftar penerima, sementara tetangga yang dianggap “lebih mampu” justru dapat. Kecemburuan sosial tumbuh subur, mengikis rasa gotong royong yang dulu menjadi kekuatan bangsa ini.


Masalahnya bukan hanya pada data yang tidak tepat, tetapi juga pada tata cara penyalurannya yang acap kali tidak jelas dan tidak partisipatif. Apakah sistem dari RT hingga Kepala Desa hanya menjadi penonton dalam penyaluran bansos? Bukankah mereka adalah mata dan telinga negara yang paling dekat dengan masyarakat?


Lebih jauh dari itu, struktur ketatanegaraan di tingkat desa pun tampak tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam banyak kasus, masyarakat sudah kehilangan kepercayaan. Mereka yakin dan percaya sepenuhnya bahwa pemerintah desa-lah yang mengatur siapa yang dapat bansos dan siapa yang tidak. Dan jujur saja, kita tak perlu menutup-nutupi bahwa praktik semacam itu mungkin memang terjadi di banyak tempat.


Namun lebih dari itu, cara-cara menyelenggarakan pemerintahan yang tidak melibatkan masyarakat dalam proses—baik itu dalam bentuk musyawarah, pendataan terbuka, hingga sosialisasi yang masif—telah melahirkan kebiasaan baru di masyarakat: prasangka. Ketika tidak dapat bantuan, mereka langsung berpikir negatif. “Namaku dihapus,” “Aku tidak dekat dengan Kepala Dusun,” “Itu karena dia keluarga RT.”


Masyarakat hari ini sebagian besar memang sulit menerima penjelasan, dan itu bukan semata karena rendahnya pendidikan, tetapi karena rasa ragu yang telah lama dibentuk oleh sistem yang tertutup dan tidak transparan. Ketika tak diberi ruang untuk tahu, wajar jika mereka akhirnya mengisi kekosongan itu dengan asumsi dan kecurigaan.


Yang lebih memprihatinkan, di level pusat pun ego kelembagaan masih sangat kentara. Kita melihat misalnya dalam program bansos bahan pangan yang sedang disalurkan saat ini. Badan Pangan Nasional (Bapanas) ditunjuk sebagai penanggung jawab program, tetapi data penerimanya justru diambil dari Kementerian Sosial. Ini bukan hanya soal teknis, ini soal prinsip. Ketika lembaga-lembaga negara lebih sibuk mengklaim wilayah kerja ketimbang duduk bersama mencari solusi terbaik, maka yang menjadi korban adalah rakyat di bawah.


Saya tidak mengatakan bahwa satu lembaga lebih baik dari yang lain. Tetapi yang saya soroti adalah buruknya koordinasi antar lembaga dalam sistem pemerintahan yang seharusnya saling menopang. Sistem ketatanegaraan kita seharusnya dibangun untuk sinergi, bukan kompetisi antar-instansi.



Jika terus dibiarkan, bansos yang tidak tepat sasaran dan tidak tepat cara ini akan menjadi api dalam sekam. Ia akan terus membakar kohesi sosial, menciptakan rasa ketidakadilan, dan memperlebar jurang antara negara dan rakyatnya. Padahal, tugas utama negara adalah memastikan keadilan dan ketertiban sosial, bukan memantik konflik melalui kebijakan yang buruk pelaksanaannya.


Tulisan ini bukan hendak menyalahkan satu pihak. Ini adalah ajakan untuk merefleksi: apakah kita masih punya niat baik untuk membenahi sistem? Apakah pemerintah pusat mau lebih rendah hati mendengar suara desa? Apakah antar-kementerian bersedia menanggalkan ego sektoral demi rakyat?


Sistem ketatanegaraan kita tidak mati karena tak ada perangkatnya. Ia mati karena kita sendiri membiarkannya lumpuh: tidak diberi peran, tidak diberi kepercayaan, tidak dilibatkan dalam proses.


Mari hidupkan kembali sistem itu. Mulailah dari melibatkan yang paling dekat dengan rakyat: RT, RW, Kadus, dan Kepala Desa. Karena keadilan sosial tak akan pernah lahir dari spreadsheet di kantor pusat, tapi dari empati dan kepercayaan pada mereka yang hidup bersama rakyat setiap hari. 

×
Berita Terbaru Update