![]() |
Suriadi, S. Sy., ME. |
Penulis: Suriadi, S. Sy., ME. ( Kepala Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Lombok Timur)
OPINI - Sejak kapan Demokrasi di negara ini bermula, seperti apa perjalanan demokrasi bangsa kita dari masa ke masa, bagaimana demokrasi kita berjalan sebelum era informasi teknologi dan setelahnya, sudah matangkah demokrasi di negara ini? pertanyaan-pertanyaan ini menjadi hal yang lumrah manakala kita hadir dalam pembahasan tentang demokrasi.
Berbagai perspektif yang keluar dari para tokoh bangsa saat mengelaborasi demokrasi dan dikaitkan dengan kehidupan kita saat ini. secara esensial semua itu bagus dan benar.
Pada tulisan kali ini, saya ingin mengajak pembaca melihat demokrasi dari era dulu sampai era saat ini dimana semua hal tersaji dengan cepat, tepat dan canggih.
Namun sebelumnya saya ingin mengajak pembaca melihat sedikit ke belakang perjalanan demokrasi kita, dimana pada era Kolonial atau familiar kita dengan sebagai era penjajahan sampai tahun kemerdekaan (1945), belum dikenal istilah demokrasi, kalaupun ada, perwujudannya mungkin sangat sederhana, bukan seperti demokrasi modern yang kita lihat dan rasakan saat ini.
Kita juga bisa melihat dengan membaca sejarah bahwa pada saat itu, rakyat Indonesia hidup dalam keterbatasan, informasi dunia dan pergulatan politik dikendalikan oleh belanda atau jepang, adapun warga negara bisa berpartisipasi secara politis melalui gerakan nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dan perkumpulan-perkumpulan sejenisnya.
Kemudian, pada tahun 1950–1959, mulai dikenal istilah demokrasi liberal, demokrasinya menggunakan perwakilan, pure barat ansich. Dan pada tahun 1955 digelar pemilu pertama yang relatif jujur dan demokratis, di era ini sudah mulai multi partai, yang saking terbukanya terjadi instabilitas politik yang cukup tinggi.
Lalu di tahun 1959–1965, dikenal istilah demokrasi terpimpin, walaupun sudah disebut demokrasi, pada masa ini, partisipasi masyarakat belum sepenuhnya berjalan, kebebasan pers dan bahkan oposisi masih sangat terbatas.
Kemudian pada tahun 1966–1998, muncullah istilah orde baru, dimana menggunakan sistem demokrasi Pancasila. Tahun-tahun ini Pemilu rutin digelar, namun didominasi oleh partai tertentu, partai rakyat masih dikontrol secara ketat, partisipasi masyarakat, bahkan peran serta media sangat dibatasi dan dikontrol.
Tahun 1998–2000 istilah reformasi mulai dikampanyekan, pada masa-masa ini, dapat dikatakan masa transisi demokrasi indonesia, sebab semua ruang sudah mulai terbuka, partisipasi masyarakat meningkat, kebebasan pers terwujud, kebebasan berserikat terlaksana, rakyat mulai bebas bersuara, dan yang tidak kalah penting ialah penguatan demokrasi melalui amandemen UUD 1945.
Lalu pada tahun 2000-an sampai 2010-an, kita mengenal istilah era informasi, pada masa ini bisa dilihat sebagai permulaan informasi digital, dengan hadirnya facebook, twitter yang sekarang bernama X, sebagai media kampanye dan advokasi, di tempat lain, lembaga negara mulai hadir dalam ruang-ruang digital, hadir secara online, tak terkecuali penyelenggara pemilu seperti KPU mulai muncul dengan layanan berbasis teknologi.
Puncaknya pada tahun 2010-an sampai saat ini, perkembangan demokrasi di Indonesia semakin matang, tentu dengan tantangannya sendiri. Di tahun ini, bisa kita katakan, demokrasi era sebelumnya sudah bermetamorfosa menjadi demokrasi digital, kita bisa melihat dimana partisipasi warga tidak hanya banyak, tapi melimpah melalui media sosial baik, Facebook, X, YouTube, TikTok, Instagram, dan platform digital lainnya. Hal lain dengan perkembangan demokrasi disertai pesatnya laju teknologi informasi ini ialah, tidak adanya sekat antar wilayah, akses informasi mudah, ruang ekonomi dan bisnis terbuka lebar, dan kontrol publik terhadap negara kian massif dan bebas dilakukan.
Di balik perkembangan demokrasi dari masa ke masa tersebut, ia tumbuh bersama keterbatasan yang tidak pernah terpikirkan, misalnya pada momen pemilu. Dengan pesatnya teknologi, hoaks merajalela, provokasi meningkat, faksi-faksi politik kian banyak.
JIka kita tilik, bagaimana demokrasi di fase awal kemerdekaan, semua serba sulit, bahkan untuk informasi saja sangat sulit, apalagi mau bebas bersuara dan berpendapat, sangat kontras jika dibandingkan dengan era Abundance (keberlimpahan) saat ini, di mana kemudahan akses, transaksi ekonomi, bisnis, ruang bersuara, berpendapat, sudah ada di genggaman masing-masing.
Era ini sangat pas jika disebut era Abundance atau keberlimpahan. Saat ini kita berlimpah informasi, berlimpah teknologi, berlimpah atas partisipasi. jika keberlimpahan tersebut tidak dikelola dengan baik dan bijaksana, maka sama saja kita berada pada era awal demokrasi.
Dengan banyaknya informasi, di satu sisi itu hal baik dan bagus dalam ruang partisipasi, tapi pada sisi lain, banjir informasi yang tidak mampu disaring oleh masing-masing kita, cenderung menjadi fitnah, hoaks dan menjadi ruang menghakimi orang lain. Ha ini tentu tidak bagus bagi demokrasi kita. Dengan kata lain, keberlimpahan ini, bisa menjadi peluang di satu sisi, bisa menjadi ancaman disisi lain.
Mungkin pertanyaan amatir yang muncul, bagaimana cara kita menyikapi era keberlimpahan ini?
Pertama, keberlimpahan ini ialah berkah hidup bagi manusia yang datang dari-NYA. dalam bentuk bermacam-macam. Kedua, tentu pendidikan politik dan penguatan literasi digital, menjadi sebuah keharusan, agar publik dan negara memiliki pemahaman yang sama terkait demokrasi yang sudah ada di era Abundance ini, ketiga, dalam ruang apapun kolaborasi itu penting dan sangat dibutuhkan baik langsung maupun tidak langsung, dan banyak lagi upaya-upaya yang bisa kita lakukan, dalam menyikapi era keberlimpahan saat ini.
Perjalanan panjang proses Demokrasi kita, tidak melulu soal melimpahnya informasi dan teknologi, seperti saat ini, tapi bagaimana kematangan warga negara ini dalam menyikapinya, bukankah hakikat demokrasi itu dari, oleh dan untuk rakyat.
Wallahu a'lam bissawab.