Notification

×

Iklan

Iklan

Spherical Astronomi: Dari Mimbar Pengajian ke Meja Hisab (Warisan Intelektual TGH. Lalu Ibrahim M Thoyyib)

Rabu, 17 Desember 2025 | Desember 17, 2025 WIB Last Updated 2025-12-17T13:14:22Z


Penulis: Suparlan, SH.i. MH.| Wakil Ketua Lakpesdam PWNU NTB


Nama TGH. Lalu Ibrohim Muhammad Thoyyib, atau yang lebih akrab disapa TGH. Agip, dikenal luas sebagai sosok ulama yang tak pernah lelah berkhidmat. Dari kampung ke kampung, dari m asjid ke masjid, dari surau ke surau, hingga madrasah-madrasah, beliau terus menghidupkan majelis ilmu. Pengajiannya tidak hanya bicara soal akhlak dan ibadah, tetapi juga menjawab persoalan-persoalan konkret yang dihadapi umat dalam kehidupan sehari-hari.

Tema-tema yang beliau sampaikan sering kali sangat kontekstual seperti ; kapan waktu salat yang tepat, bagaimana memastikan arah kiblat, kapan awal puasa, kapan Idul fitri, hingga penjelasan tentang gejala alam seperti gerhana bulan dan matahari. Di setiap majelis, selalu saja muncul pertanyaan yang sama dari jamaah: “Kapan kita mulai puasa?” dan “Sebenarnya kapan lebaran?” 

Pertanyaan itu bukan sekadar soal tanggal di kalender. Di baliknya tersimpan kegelisahan umat yang ingin memastikan bahwa ibadah yang mereka jalani sah, tepat, dan menenteramkan hati. Dari kegelisahan yang berulang inilah, sebuah ikhtiar besar perlahan lahir.

Dari Mimbar Pengajian ke Meja Hisab

Dalam tradisi fikih Islam, penentuan awal Ramadan dan Idul fitri telah jelas dikaitkan dengan rukyat al-hilal, yakni melihat bulan sabit secara langsung. Namun, praktik di lapangan tidak selalu berjalan mulus. Awan tebal, kabut, hingga kondisi atmosfer tertentu kerap menghalangi pandangan ke langit. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat modern menuntut kepastian lebih awal untuk persiapan ibadah dan aktivitas sosial-ekonomi.

Keterbatasan inilah yang mendorong jamaah dan mendesak Tuan Guru Agip agar tidak berhenti pada penjelasan lisan semata. Mereka menginginkan sebuah panduan yang sistematis, praktis, dan bisa digunakan secara mandiri. Menjawab kebutuhan itu, beliau pun menyusun sebuah karya yang memadukan khazanah keilmuan Islam klasik dengan pendekatan astronomi modern.

Lahirlah sebuah buku spherical astronomi, yang bukan sekadar kitab teori, tetapi sebuah kalender komprehensif yang menjangkau masa depan hingga tahun 2100 Masehi, bahkan seterusnya. Di dalamnya termuat kalender Masehi terperinci, data gerhana bulan dan matahari, fenomena tahun kabisat, serta berbagai peristiwa langit yang beririsan langsung dengan praktik ibadah umat Islam.

Buku Spherical Astronomi (Ilmu Falak) karya TGH. Lalu Ibrahim M Thoyyib

Menariknya, proses intelektual penyusunan buku ini bukanlah kerja individual semata. Dua putri beliau, Bq. Niswatul Hasnawati, S.Pd. dan Baiq Hayatun Toyyibah, S.Pd.I, menuturkan bahwa mereka pernah diminta langsung oleh ayahnya untuk membantu perhitungan lintang dan bujur menggunakan kalkulator ilmiah dengan fungsi cosinus. Perhitungan itu digunakan untuk menentukan waktu salat dan puasa secara presisi.

Kisah ini menunjukkan bahwa tradisi keilmuan dalam keluarga Tuan Guru Agip bukan sesuatu yang abstrak. Ilmu hidup di rumah, tumbuh dalam percakapan keluarga, dan berakar kuat pada tradisi pesantren. Dari ruang keluarga itulah, rumus-rumus matematis berubah menjadi panduan ibadah yang bermanfaat luas.

Angka yang Menjadi Amal Jariyah

Bagi sebagian orang, perhitungan lintang dan bujur mungkin terasa kering dan teknis. Namun di tangan Tuan Guru Agip, angka-angka itu justru menjadi ladang pengabdian. Dari koordinat geografis, lahir data waktu salat yang akurat, penentuan awal puasa yang terukur, serta arah kiblat yang tepat. Ilmu falak dan astronomi sferis pun menjelma menjadi bagian dari khidmah keagamaan, memastikan umat beribadah dalam batas waktu yang benar. Di sinilah rumus berubah menjadi amal jariyah, yang manfaat dan pahalanya terus mengalir.

Salah satu bagian penting dalam buku ini adalah sikap Tuan Guru Agip terhadap perbedaan penentuan awal puasa dan hari raya. Beliau dengan jujur mengakui bahwa perbedaan satu hingga dua hari antar kelompok memang mungkin terjadi. Perbedaan itu bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga perbedaan metode dan dalil yang digunakan.

Alih-alih menyalahkan, beliau justru menegaskan bahwa masing-masing pendapat memiliki landasan yang kuat dan dibenarkan dalam agama. Sikap ilmiah dan moderat inilah yang menjadi ruh karyanya. Umat diajak memahami bahwa perbedaan rukyat, hisab, atau kombinasi keduanya bukan alasan untuk berpecah, melainkan kekayaan tradisi ijtihad Islam.

Namun, pada saat yang sama, Tuan Guru Agip menegaskan pentingnya rujukan bersama dalam kehidupan berbangsa. Dalam konteks Indonesia, rujukan itu adalah keputusan pemerintah melalui Kementerian Agama Republik Indonesia. Beliau selalu menganjurkan jamaah untuk mengikuti keputusan resmi negara demi menjaga ketertiban sosial dan persatuan umat.

Ilmu, Negara, dan Harmoni Sosial

Sikap ini menunjukkan keseimbangan yang matang, kebebasan berijtihad tetap dihormati, ilmu tetap dikembangkan, tetapi keputusan kolektif negara dijadikan pegangan bersama. Panduan hisab dalam buku beliau bisa dipelajari siapa saja, sementara secara sosial umat diarahkan untuk patuh pada keputusan Menteri Agama agar perbedaan tidak menjelma menjadi konflik berkepanjangan. Inilah wajah ulama yang mencintai ilmu sekaligus memahami tata kelola kenegaraan.

Warisan Intelektual dari Lombok

Buku spherical astronomi karya Tuan Guru Agip bukan hanya panduan penentuan awal bulan hijriah. Ia juga memuat waktu-waktu salat, arah kiblat, kalender Masehi lengkap, serta prediksi gerhana bulan dan matahari. Dengan bahasa yang relatif terjangkau, buku ini menjadi jembatan antara observasi langit, hisab matematis, dan amaliah harian umat.

Lebih dari itu, karya ini menjadi bukti bahwa tradisi keilmuan Islam di Lombok dan Nusa Tenggara Barat terus hidup dan berproduksi. Dari majelis-majelis pengajian sederhana, lahir sebuah kitab visioner yang memandang jauh ke depan.

Pada akhirnya, pesan utama dari karya dan sikap Tuan Guru Agip sangatlah jelas, persatuan umat adalah prioritas, ilmu adalah jalan, dan negara adalah rujukan bersama. Di tengah umat yang mudah tersulut oleh perbedaan, teladan seperti ini terasa kian berharga. 

Menjadi alim, sebagaimana ditunjukkan beliau, bukan hanya mampu menghitung lintang dan memprediksi gerhana, tetapi juga mampu menuntun umat menuju sikap tawadhu, saling menghormati, dan hidup dalam kebersamaan. Di antara lembaran tabel dan hitungan, tersimpan doa agar umat Islam Indonesia semakin dewasa dalam berilmu dan bernegara.

×
Berita Terbaru Update