![]() |
Kantor Kejaksaan Negeri Lombok Timur |
SELAPARANGNEWS.COM - Kejaksaan Negeri (Kejari) Lombok Timur terus mendalami dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan sejumlah buku di satuan Pendidikan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Kabupaten Lombok Timur. Kasus ini mencakup pengadaan buku Smart Assessment Tahun Anggaran 2021, buku muatan lokal Tahun Anggaran 2023, dan buku Pendidikan Antikorupsi Tahun Anggaran 2025.
Kepala Kejaksaan Negeri Lombok Timur Hendro Wasisto menjelaskan, hingga saat ini tim penyidik tindak pidana khusus Kejari Lombok Timur telah memeriksa 15 orang saksi dalam kasus tersebut yang terdiri dari pejabat Dinas Pendidikan, sejumlah kepala sekolah dan guru beserta UPTD-nya, serta dua pihak swasta yang diduga terlibat dalam proses pengadaan.
"Penyidikan kasus ini dimulai pada September lalu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor 10 tanggal 24 September 2025," ucapnya dikutip dari tayangan berita Selaparang TV. Kamis, (23/10/2025).
Dari hasil pemeriksaan sementara, kata Kajari, penyidik menemukan adanya indikasi penyimpangan dalam mekanisme pengadaan. Berdasarkan ketentuan Permendikbud, setiap satuan pendidikan seharusnya melakukan pengadaan melalui Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). Namun, dalam praktiknya ditemukan bahwa proses tersebut telah dikoordinir oleh pihak luar sekolah.
“Fakta penyidikan menunjukkan bahwa password aplikasi SIPLah milik sekolah diserahkan kepada pihak lain. Ada dugaan pengarahan kepada penyedia tertentu, sehingga muncul indikasi pengkondisian penyedia dari salah satu penerbit yang menguasai tiga pengadaan buku pada tiga tahun anggaran tersebut,” terang Hendro.
Kejaksaan menduga pengkondisian tersebut mengakibatkan potensi kerugian keuangan negara. Saat ini, tim penyidik masih berkoordinasi dengan tenaga ahli untuk menghitung besaran kerugian yang timbul. “Kami masih berproses. Koordinasi dengan ahli sedang dilakukan untuk memastikan nilai kerugian negara,” tambahnya.
Dari keterangan sejumlah saksi, Hendro mengungkapkan bahwa praktik yang terjadi di lapangan lebih bersifat “menggiring” sekolah agar membelanjakan dana BOS kepada penyedia tertentu, bukan dalam bentuk pemaksaan. “Dari 15 saksi yang sudah diperiksa, kami memperoleh gambaran bahwa tidak ada unsur pemaksaan, tetapi ada upaya pengarahan pembelian kepada satu penyedia,” katanya.
Hendro menegaskan, sesuai ketentuan, pengadaan buku seharusnya dilakukan berdasarkan kebutuhan masing-masing sekolah melalui sistem SIPLah dan tanpa intervensi pihak luar.
“Kalau sesuai aturan, pelaksanaannya harus lewat SIPLah dan disesuaikan dengan kebutuhan sekolah. Kalau di sekolah itu tidak membutuhkan buku tertentu, tidak semestinya diarahkan untuk membeli,” pungkasnya. (Yns)