![]() |
| Dr. Retno Sirnopati, M. Hum |
OPINI - Beberapa hari lalu saya membaca dan menyaksikan salah seorang penggiat, peneliti juga sekaligus akademisi Pemilu dan Demokrasi Universitas Indonesia, Titi Anggraini dalam sebuah forum yang berdiskusi seputar isu pemilu dan demokrasi. Dalam forum diskusi tersebut kurang lebih intinya bahwa Pemilu dan Demokrasi kita harus segera diperbaiki tata kelolanya berdasarkan putusan MK terbaru nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Pemilu Serentak Nasional dan Lokal.
Isu keserentakan Pemilu hanya sub tema dari wacana besar demokrasi dan Pemilu. Sesungguhnya ada banyak persoalan mendasar pelaksanaan Pemilu dan Demokrasi kita menjadi penting untuk dibenahi dan didiskusikan. Setidaknya dari perkembangan diskursus Pemilu dan Demokrasi, saya menangkap dua perdebatan besar yang sedang trending. Satu datang dari kelompok Pegiat Pemilu dan Demokrasi (masyarakat sipil) dan satu lagi dari penyelenggara pemilu.
Diskursus itu terekam dalam lensa opini media massa kompas dan itu sehat dalam iklim demokrasi. Satu tema: Mereset Penyelenggara Pemilu dan satu tema Reset KPU: Jalan Pintas Yang Menyesatkan. Bahkan ketua KPU RI M. Afifuddin menulis Kaidah Penyelenggara Pemilu: Berani memperbaiki sistem yang rentan dan membangun tata kelola yang lebih berintegritas.
Dua gagasan itu memiliki basis argumentasi masing-masing. Dan saling mengoreksi. Satu dengan reasoning hasil dan permasalahan pelanggaran pemilu dilakukan penyelenggara pemilu yang begitu banyak. Dan dari sisi penyanggah mendasari argumentasinya bahwa kesalahan individu tidak berarti kesalahan struktur. Maka tidak tepat istilah 'mereset penyelenggara pemilu'. Dan ada banyak sub tema pemilu dan demokrasi kita yang harus diurai satu persatu.
Terlepas dari perdebatan itu, penulis ingin menyoroti sisi lain dari isu pemilu dan demokrasi ini. Selain soal regulasi, penyelenggara, anggaran, kultur, ada soal lain menurut penulis juga substantif untuk didiskusikan: Inovasi penyelenggara pemilu dan pendidikan demokrasi untuk generasi Z ditengah keterbatasan anggaran.
Pada kasus Kabupaten Lombok Timur saja generasi Z yang berusia 17-19 tahun pada saat pelaksanaan pemilihan (Pilkada) mencapai 62 ribu lebih. Data itu merupakan potret potensi demokrasi kita ke depan. Pertanyaannya apakah akan lebih substantif atau tidak? Tergantung apa yang kita tanam sekarang.
Pepatah Afrika yang dikutip Anggoro Djatmiko mengatakan: "sekarang saat terbaik memulai segalanya dengan benar. Saat terbaik menanam pohon adalah 20 tahun lalu. Kalau 20 tahun lalu, kamu tidak lakukan, sekaranglah saat terbaik."
Persoalan pemilu dan demokrasi kita bukan hanya soal kelemahan dalam sistem tapi juga soal tingkat kesadaran sumberdaya manusia yang masih rendah. Pemilu efektif dan efisien itu dengan sendirinya akan terwujud ketika sumberdaya manusia indonesia sudah sampai pada level kesadaran kritis.
Harapan itu ada pada generasi Z yang saat ini jumlahnya cukup besar. Berdasarkan data yang dihimpun KPU, perbandingan data generasi Z dan milenial, lalu generasi X dan baby boomer dan pre boomer, di Kabupaten Lombok Timur, angkanya cukup mengejutkan.
Generasi Z merupakan kategori kelahiran 1997-2010, angkanya mencapai 238 ribu lebih dan generasi milenial kategori kelahiran 1981-1996, angkanya mencapai 358 ribu lebih. Dalam dua kategori ini perlu dilihat berapa banyak subjek potensial pemilih berada pada mode kesadaran kritis dan mode kesadaran naif.
Disinilah pentingnya pendidikan politik pemilu dan demokrasi diaplikasikan. Mengutip M. Afifuddin (dalam tulisan Kaidah Penyelenggara Pemilu) partisipasi pemilih pemula (muda) sangat menentukan untuk modalitas arah demokrasi Indonesia. Ditengah tantangan seperti mobilitas tinggi, skeptisme terhadap politik dan akses informasi yang timpang masih perlu diatasi untuk meningkatkan partisipasi secara maksimal.
Penyelenggara pemilu mustinya memiliki tanggungjawab penuh melakukan tanggungjawab sebagai kesadaran kritis pembangunan demokrasi substantif. Pada konteks itu, KPU Kabupaten Lombok Timur telah memulai tindakan itu ditengah keterbatasan dan pengetatan anggaran.
KPU Lombok Timur menginisiasi gagasan menyambangi sekolah menengah atas dan sederajat sebagai inisiatif transformatif menularkan gagasan kesadaran politik pemilu dan demokrasi kepada generasi Z dan pemilih pemula. Bahwa pemilu dan demokrasi adalah basis utama hadirnya kepemimpinan transformatif dan berkeadilan jika dilakukan dengan kesadaran kritis.
Literasi Penguatan Pemahaman Pemilu dan Demokrasi
Bagus mulyadi, seorang intelektual dan pengajar di Universitas Nottingham, Inggris, menyebutkan bahwa pemegang gelar sarjana atau baccalaureate holder adalah kunci tegaknya negara demokratik. Artinya apa? Tingkat kesadaran kritis masyarakat adalah penentu sebuah proses dan hasil pemilu serta alam demokrasi kita, apakah berada pada status demokratik substantif atau sekedar elektoral prosedural. Untuk sampai pada kesadaran kritis itu dibutuhkan literasi atau setidaknya pemahaman yang cukup terhadap suatu objek isu yang akan diurai.
Pada kondisi tersebut kita memiliki potensi generasi milenial dan generasi Z, sebagai subjek pemilih di masa depan yang harus tercerahkan dan kritis. Fungsi kritis akan bisa dicapai jika tugas pendidikan politik juga menjadi tanggungjawab penyelenggara pemilu untuk mengedukasi.
Kerja-kerja kepemiluan dan pilar demokrasi sejak dini harus dipahami generasi Z. Pengetahuan tentang prosedur pemilu, legalitas hukum pemilu, konsekuensi pemilu, prinsip-prinsip pemilu, jenis pelanggaran pemilu, kelembagaan pemilu, dan informasi pemilu lainnya adalah informasi penting pemilih pemula dan generasi Z harus pahami.
Partisipasi pemilu tidak akan bermakna apapun jika sekedar menjadi agenda dadakan menjelang pemilihan. Dengan demikian pada saat momentum pemilihan tiba mereka memahami bahwa masa depan bangsa berada di tangan mereka secara kritis.
Pemilu Subtansial dan berkeadilan bukan hanya soal regulasi bolong di sana-sini, juga soal perdebatan: Mereset Penyelenggara Pemilu atau Merset KPU: Jalan Pintas Menyesatkan, tidak. Tapi juga soal bagaimana penyelenggara pemilu dan stakeholder lainnya memahami bahwa ada persoalan fundamental yang belum terselesaikan di akar rumput pemilih yaitu soal sumberdaya manusia kita yang masih rendah dan naif.
Pemilih kita belum berada pada level kesadaran kritis sebab mungkin mereka adalah bagian dari proyek demokrasi dan pemilu, entahlah....mungkin jika itu disadari, apapun persoalan pemilu ketika kesadaran pemilih berada pada level kritis maka dengan sendirinya pemilih akan melakukan perlawanan dengan caranya sendiri.
Politik uang, informasi hoax dan disinformasi, ujaran kebencian, dan sara dan lainnya akan terproteksi sendiri oleh pemilih. Pada akhirnya tujuan penyelenggaraan pemilu berintegritas dan berkeadilan bukan lagi soal tambal sulam regulasi dan intervensi politik tetapi soal status pemilih sebagai pemegang kedaulatan berada pada mode kesadaran kritis atau naif. Dan mereka adalah generasi milenial dan generasi Z.
Akhirnya ijinkan saya mengutip kaidah bahwa "Sesuatu yang menjadi syarat atau prasyarat agar suatu kewajiban terpenuhi, maka hal tersebut hukumnya juga wajib" Artinya bahwa jika edukasi kepada pemilih pemula sebagai prasyarat agar kesadaran demokrasi dan menjauhkan pemilu dari politik uang, maka pendidikan politik bagi pemula wajib dilaksanakan secara bersama oleh stakeholder, dan itu telah sedang dan akan terus dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu.
Wallahu 'alam...
