Notification

×

Iklan

Iklan

TGH. Muhammad Arifbillah Ulama Kaya Raya: Dari Periuk Nasi yang Tak Pernah Habis hingga Kolam Ikan untuk Warga

Selasa, 16 Desember 2025 | Desember 16, 2025 WIB Last Updated 2025-12-16T04:35:10Z


Penulis: Agus Dedi Putrawan | Wakil Ketua Lakpesdam PWNU NTB


Pada tahun 1851, ketika Kakawin Sutasoma kembali disalin di atas daun lontar dan frasa Bhinneka Tunggal Ika bersemayam sebagai pesan kebijaksanaan Nusantara, di Lombok lahir seorang bayi yang kelak menjadi ulama besar. Bayi itu bernama Muhammad Arifbillah, tokoh yang jejak hidupnya menautkan spiritualitas, kekayaan, dan pengabdian sosial dalam satu tarikan napas panjang sejarah Sasak.

Ia lahir di tengah pergolakan zaman kolonialisme Belanda yang kian menancap, perubahan sosial yang bergulir pelan, dan masyarakat Lombok yang masih berada di persimpangan antara Islam, adat, dan kepercayaan leluhur. Dari rahim sejarah itulah TGH. Muhammad Arifbillah tumbuh, bukan sekadar sebagai tuan guru, tetapi sebagai fenomena sosial dan spiritual.

Arifbillah berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, Tuan Haji Abdurahman, adalah pendakwah yang menempuh jalan sunyi namun berdampak luas. Ia tidak memaksakan Islam dengan keras, melainkan memperkenalkannya melalui teladan, kerja, dan ketekunan menggarap tanah. Dakwah agraria menjadi pintu masuk ; sawah, ladang, dan hasil bumi menjadi bahasa Islam yang paling mudah dipahami masyarakat.

Di wilayah Lombok Barat khususnya Mesanggok, masyarakat saat itu masih kuat dengan tradisi wetu telu, sebuah bentuk sinkretisme antara Islam, adat, dan kepercayaan leluhur. Alih-alih merobohkan, Haji Abdurahman merawat. Ia menanam padi sekaligus menanam tauhid. Jalan inilah yang kelak diwarisi Arifbillah.



Kehidupan Yang Membumi, Berdakwah Dengan Ngamarin

Muhammad Arifbillah kecil yang semula bernama Tarwiah, tumbuh sebagai anak desa pada masa sulit. Ia membantu ibunya di sawah, mencari kayu bakar ke bukit-bukit, lalu bermain dan belajar setelah kebutuhan dapur terpenuhi. Hidupnya keras, tetapi justru di situlah karakternya ditempa. Rumah keluarganya menjadi tempat bertanya soal agama, soal penjajah, hingga soal sengketa sosial. Mereka adalah “oase” di tengah masyarakat, tempat orang datang membawa masalah dan pulang membawa ketenangan.

Sekitar awal abad ke-20, Arifbillah berangkat ke Hijaz. Perjalanan itu bukan perjalanan biasa. Ia belajar selama 18 tahun melewati masa sulit Perang Dunia Pertama, ketika kehidupan di Mekah serba mahal dan berat. Di sana, Arifbillah berguru pada ulama besar, hingga akhirnya memperoleh ijazah sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dari Syekh Abdul Karim al-Bantani. Ia juga memperdalam ilmu di Madinah dan mendapatkan sanad Dalailul Khairat.

Sekembalinya ke Lombok, masyarakat memberinya gelar Tuan Guru Haji (TGH), gelar yang tidak sembarang disematkan. Gelar itu lahir dari pengakuan sosial, bukan pengangkatan struktural.

Berbeda dengan banyak tuan guru lain, TGH. Muhammad Arifbillah tidak mendirikan pondok pesantren. Dakwahnya adalah dakwah “ngamarin” berkeliling dari desa ke desa, tinggal berbulan-bulan, mengajar, menyelesaikan masalah warga, lalu berpindah.

Rute dakwahnya melintasi Mesanggok, Sekotong, Kuripan, Praya, hingga Lombok Tengah. Ia merawat Islam kultural, memperkuat tradisi ahlussunnah wal jamaah dan menjadi fondasi tumbuhnya Nahdlatul Ulama di Lombok. Zikir Saman yang masih hidup hingga hari ini di Mesanggok dan sekitarnya adalah salah satu jejak dakwahnya.

Ulama Kaya Raya dan Karomah yang Hidup dalam Ingatan

Di sinilah kisah TGH. Arifbillah menjadi unik,bahkan nyaris paradoksal. Ia dikenal sebagai ulama kaya raya di Desa Mesanggok. Tanah sawahnya mencapai puluhan hektar, kolam ikannya terbentang luas, ternaknya berlimpah. Ia membeli banyak barang bagus, memborong hasil bumi, dan memiliki kekayaan materi yang luar biasa.

Namun, kekayaan itu bukan untuk ditumpuk. Kolam ikan miliknya tidak pernah dijual hasilnya semua untuk warga. Sawahnya menopang dakwah. Hartanya menjadi alat perjuangan. Baginya, “sebelum menguasai dunia, belum sempurna menjadi guru.”
Cerita karomah TGH. Arifbillah hidup dari mulut ke mulut. Periuk nasi yang tak pernah habis, cukup memberi makan ratusan jamaah. 

Kemampuannya berada di beberapa tempat dalam satu waktu. Orang-orang yang hendak mencelakainya justru terdiam tak bergerak, seolah terperangkap lumpur tak kasat mata. Semua kisah itu, benar atau tidak secara rasional, adalah cermin dari kepercayaan masyarakat terhadap kewalian dan integritas moralnya.

TGH. Muhammad Arifbillah wafat pada 1946, setahun setelah Indonesia merdeka, di usia 95 tahun. Ia meninggalkan ribuan jamaah, ratusan keturunan, murid-murid yang menjadi tuan guru, dan satu warisan besar Islam yang membumi, ramah, dan berdaya secara sosial-ekonomi. 

Di tengah zaman yang sering mempertentangkan kesalehan dan kekayaan, TGH. Arifbillah justru mempersatukannya. Ia membuktikan bahwa ulama tidak harus miskin, dan orang kaya tidak harus jauh dari umat. Namanya mungkin tidak tercetak di buku sejarah nasional, tetapi di Mesanggok dan Lombok, kisahnya hidup seperti periuk nasinya yang tak pernah kosong. (SN) 
×
Berita Terbaru Update