Notification

×

Iklan

Iklan

Lombok; Kesasakan, Keislaman dan Keindonesiaan

Friday, November 6, 2020 | November 06, 2020 WIB Last Updated 2021-04-01T18:22:53Z
Sumber Foto: https://lombok-travel.com/direct/pulau-lombok.htm
Muh. Samsul Anwar*

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyaatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain,

diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Jakarta 17 Agustustus 1945

Atas Nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta


Opini - Teks yang dibacakan pada 17 Agustus 1945, menandakan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan kolonialisme.

Berita kemerdekaan ini menyebar ke penjuru nusantara. Akan tetapi berberda dengan Pulau Lombok yang mengetahui kemerdekaan Indonesia sebulan setelah kemerdekaan, karena kesulitan informasi dan transportasi (Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Lombok Timur: 1994; 15)

Dalam sejarahnya, Lombok adalah merupakan salah satu daerah program politik Gajah Mada (Patih Amangkubumi) yang ingin menyatukan nusantara (Lombok Mirah Sasak Adi; 2011; 6). Karena mengangap daerah yang strategis. Sehingga tidak mengherankan Lombok dalam perjalanan sejarahnya dijajah silih-berganti oleh beberapa daerah tetangganya.

Pertama adalah kerajaan Majapahit di Jawa Timur yang masuk ke Lombok pada abad ke 7 dengan membawa pengaruh Hindu-Budhisme dalam masyarakat Lombok. Setelah Majapahit runtuh, Lombok dikuasai oleh Raja Jawa Muslim pada abad ke 13 dengan memberikan warna sufisme Jawa yang penuh singkretis. Sementara itu, di bagian Timur Lombok, Selaparang ditaklukkan oleh kerajaan Goa Makasar pada abad ke 16 dengan membawa Islam Sunni. Setelahnya kerajaan Bali dari Karangasem menduduki daerah Lombok Barat sekitar abad ke-17, dan kemudian mengkonsolidasikan kekuasaannya terhadap seluruh Lombok setelah mengalahkan kerajaan Makasar pada tahun 1740. Kemudian kedatangan Belanda dalam membantu masyarat Lombok dalam melawan kerajaan Bali malah Belanda justru menjadi penjajah baru di Lombok. Bahkan Belanda banyak mengambil tanah yang sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak tanah yang tinggi terhadap penduduk. Masa-asa itu juga sekaligus menjadi awal dimulainya kolonialisasi Belanda yang berlangsung hingga berabad-abad kemudian. Hingga kemudian Jepang datang dan ganti menjarah Lombok untuk suatu rentang waktu yang singkat, yaitu 1942-1945 (Erni Budiwanti; 2005; 11-9)

Tuan Guru dan Nasionalisme Religius

Tentu saja, penjajahan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh para bangsawan dan Tuan Guru Lombok pada waktu itu. Misalnya apa yang dilakukan oleh Raden Wirasasih dan Mamiq Mustiasih yang melawan Belanda pada 1897. Tidak tinggal diam juga para pemuka agama di Lombok, para Tuan Guru memberikan perlawan sengit terhadap para kolonial. Perlawan yang dilakukan oleh Tuan Guru Haji Ali Batu, mulai pada tahun 1891-1982 melawan Anak Agung Ngurah Ketut Karang Asem. Walaupun pada akhirnya Tuan Guru Haji Ali Batu tewas di dalam pertempuran. Kemudian dilanjutkan oleh Guru Bangkol. Perlawanan para Tuan Guru melawan tentara NICA di markasnya pada 7 Juni 1946 di kota Selong yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faisal dengan bantu oleh Tuan Guru Muhammad Zainul Madjid dan didukung oleh para santrinya, yaitu Ahmad Nursaid, Dahmuruddin, Mursyid, Sayyid Saleh, Umar, M. Thoyyib, Saparul Khair serta kekuatan rakyat Pringgesela. Yang dalam pertempuran menewaskan Tuan Guru Muhammad Faisal sendiri.

Setelah kemerdekaan dari para kolonialis ini, dalam penaklukan Lombok berabad-abad di Lombok, barang tentu memberikan pengaruh dalam tata-cara dan bertingkah laku. Ketertindasan sekian lama itu memberikan dampak kelam dalam sejarah Lombok yang berakibat pada ketidakpede-an orang Lombok dalam mengakuan dirinya menjadi orang Lombok (Sasak).

Can The Sasak (Subaltern) Speak?

Sebuah esai yang berjudul Can The Subaltern Speak?, (Bisakah Subltern Berbicara?) yang ditulis oleh Gayatri Chakravorty Spivak, perempuan India dan profesor di Universitas Pittsburgh menarik untuk dikutip. Esai ini berisi tentang tendensi-tedensi kolonial dalam teori-teri pascakolonial. Dimana Spivak mempertanyakan kaum intelektual pascakolonial sebagai penyampai lidah rakyat tertidas, subaltrn. Benarkan subalten bisa bicara? (Antariksa; Intelektual, Gagasan Subaltern dan Perubahan).

Istilah subaltern semula dipakai oleh Gramsci untuk menunjuk mereka yang inferior. Petani, buruh dan kelompok-kelompok  masyarakat yang menjadi objek hegemoni oleh penguasa disebut subaltern. Subaltrn adalah sekelompok masyarak, baik buruh, petani atau yang lainnya tidak mendapatkan akses dari penguasa sebagai sasaran hegemoni terpinggirkan tertindas.

Dalam buku Van Der Kran, Lombok: Penaklukan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940 memberikan data-data sejarah bahwa Lombok terjajah oleh kerajaan Bali setelah kemudian bergantian Belanda dan Jepang, memberikan dampak pada keterbelakangan pada masyarakat Lombok. Relevan dengan apa yang ditulis oleh Spivak Can The Subaltern Speak atau Can The Sasak (Subaltern) Speak, dapatkah bangsa Sasak berbicara?

Tentu saja kita akan berbicara ketika ruang dan tempat tesedia. Pembacaan ulang sejarah Lombok dalam konteks subaltrn, penting dilakukan dalam merekonstruksi sejarah kita. Agar tidak terjadi kematian budaya atau nekrokulturalisme ( kematian tafsir, kematian pemikiran, kematian diskursus dan karena itu kita akan kehilangan kebaruan-kebaruan cara pandang). Oleh karenanya, perlu dilakukan adalah  mengambil peran masing-masing baik pemerintah daerah, budayawan dan tokoh agama dalam membangun peradaban Lombok.

Himmaturrijal tahdumul jibal

Selamat Hari Pahlawan



*Intelektual Muda NW

×
Berita Terbaru Update