Notification

×

Iklan

Iklan

Begini Kata Kemenag Lotim Soal Polemik Pembangunan Rumah Ibadah di Desa Mamben Daya

Thursday, December 30, 2021 | December 30, 2021 WIB Last Updated 2021-12-30T03:17:44Z

Aksi penolakan pembangunan Masjid As-Sunnah di Desa Mamben Daya oleh Warga Setempat (Dok. Selaparangnews) 

 

Lombok Timur, Selaparangnews.com - Proses Pembangunan Rumah Ibadah yang ada di Desa Mamben Daya, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur masih menjadi polemik di masyarakat.


Belum lama ini, masyarakat Mamben Daya kembali mendatangi lokasi pembangunan rumah ibadah tersebut menyusul adanya dugaan bahwa proses pembangunannya dilanjutkan kembali meski sudah dilarang oleh pemerintah daerah melalui surat pernyataan Bupati, H.M. Sukiman Azmy.


Terkait masalah itu, Kepala Sub Bagian Tata Usaha (Kasubbag TU) Kantor Kementerian Agama Lombok Timur, H. Suardi mengakui bahwa proses pembangunan rumah ibadah yang diduga milik jama'ah as-Sunnah tersebut memang belum mengantongi rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama berdasarkan aturan yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri.


"Seluruh persyaratan yang dituangkan dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri itu tidak ada yang dipenuhi oleh pihak yang ingin mendirikan rumah Ibadah," jelas H. Suardi saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Rabu kemarin, 29/12/2021.


Persyaratan yang dimaksud, kata H. Suardi yaitu surat rekomendasi dari Kantor Kemenag dan Forum Kerukunan Umat  Beragama (FKUB) Lombok Timur setelah melakukan survei ke lapangan. "Kami tidak pernah menerbitkan surat rekomendasi itu," ujarnya.


Pembangunan rumah ibadah, lanjut dia, bisa dilakukan apabila pihak yang ingin membangun sudah melengkapi persyaratan-persyaratan administrasi dan persyaratan teknis ke Kementerian Agama dan FKUB Lombok Timur.


Kalau sudah ada rekomendasi dari  Kemenag dan FKUB yang ditetapkan melalui rapat pleno, sambungnya, maka hal itu akan disampaikan kepada Bupati, sehingga Bupati lah yang akan memberikan izin pendirian rumah ibadah tersebut.


Perlu diketahui bahwa izin yang ditangani oleh Kementerian Agama ialah izin penggunaan bangunan sebagai sarana tempat melakukan aktivitas keagamaan. Hal itu, tentu saja berbeda dengan izin mendirikan bangunan atau IMB.


Memang benar,  kata dia, Konstitusi menjamin hak-hak beragama setiap orang, sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agama dan keyakinannya masing-masing.


Hanya saja, sambungnya, hak asasi itu juga terbatas oleh hak asasi orang lain, sehingga perlu ada aturan yang menjadi penengahnya.


"Jadi tidak bisa kita semau-maunya, perlu ada pengaturan-pengaturan untuk menciptakan kerukunan, termasuk dalam mendirikan rumah ibadah juga ada aturannya, supaya tidak menimbulkan gejolak di masyarakat," paparnya.


Sebenarnya, lanjut H. Suardi, dengan adanya surat pernyataan Bupati untuk menghentikan proses pembangunan rumah ibadah tersebut  maka segala aktivitas pembangunan di situ harus dihentikan karena memiliki konsekuensi hukum melawan pemerintah. "Tentu saja ada konsekuensi hukum jika itu tetap dilakukan," tegasnya.


Berdasarkan informasi dari salah satu warga, diduga bahwa pondasi rumah ibadah yang sudah dibangun di Desa Mamben Daya itu akan dilanjutkan, namun bukan untuk rumah ibadah, melakukan bakal dialihkan menjadi lembaga pendidikan.


Akan tetapi, kata H. Suardi, proses pembangunan lembaga pendidikan juga sama dengan proses pembangunan rumah ibadah yaitu harus mengantongi izin dari pemerintah setempat.


Jika bentuknya madrasah atau pondok pesantren, sambungnya, termasuk TPQ, RTQ dan LPTQ maka akan berurusan dengan Kementerian Agama. Sementara kalau bentuknya adalah sekolah, kata dia, maka yang mengeluarkan izinnya adalah Pemerintah Daerah.


"Izin operasional untuk Madrasah dan Pondok Pesantren itu diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, kita di Kabupaten posisinya menyampaikan rekomendasi dengan persyaratan-persyaratan tertentu," jelasnya.


Di antara persyaratan-persyaratan itu, lanjut H. Suardi ialah tanah tempatnya mendirikan lembaga tersebut harus merupakan milik sendiri yang dibuktikan dengan sertifikat.


"Jumlah santrinya berapa, domisilinya di mana, kurikulumnya seperti apa juga harus jelas," paparnya sembari menegaskan supaya jangan sampai di dalam kurikulumnya tidak memuat tentang Pancasila.


Perlu diperhatikan, lanjut H. Suardi, pembangunan rumah ibadah di Desa Mamben Daya itu ditolak warga bukan karena anti terhadap rumah ibadah atau masjid, melainkan karena memang secara aturan tidak sesuai seperti yang disampaikan di atas.


Apalagi, kata dia, rumah ibadah di sekitar sana sudah ada sehingga dengan munculnya rumah ibadah yang baru maka akan semakin memperuncing perbedaan di tengah masyarakat.


Karena itu, pihaknya mengaku sangat berhati-hati dalam memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah. Khawatir kalau pendirian tersebut tidak didasarkan pada kebutuhan, melainkan hanya karena merasa berbeda dengan masyarakat lain sehingga harus mendirikan rumah ibadah yang baru.


"Fungsi masjid itu harusnya sebagai pemersatu umat, bukan justeru  memecah belah," tegasnya.


Sebagai tindak lanjut dari Surat Pernyataan Bupati terkait pembangunan Masjid tersebut, pemerintah daerah telah memasang baliho yang cukup besar di lokasi pembangunan yang memuat isi pernyataan Bupati itu, dengan harapan supaya pihak yang membangun mentaati hal itu.


Bahkan, kata H. Suardi, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah daerah akan membangun pos Pol PP di sana, jika sewaktu-waktu ada gejolak di masyarakat.


"Berdasarkan hasil rapat di Polres bersama para stakeholders, disepakati bahwa surat pernyataan pak Bupati itu akan dicetak menjadi baliho untuk dipasang di lokasi pembangunan. Dan Sat pol PP juga akan membuat pos di sana untuk berjaga-jaga," pungkasnya, sembari meminta supaya semua pihak yang terlibat dalam persoalan tersebut lebih bijak dalam bersikap serta lebih menjaga keharmonisan dan kedamaian. (Yns)

×
Berita Terbaru Update