Notification

×

Iklan

Iklan

Luar Biasa! Santri PLBH Kepanjen - Malang Terbitkan 7 Buku di HUT Pesantren ke 10

Wednesday, December 15, 2021 | December 15, 2021 WIB Last Updated 2021-12-15T08:50:56Z

Pemotongan Tumpeng oleh Lurah dan Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah (PLBH) Kepanjen - Malang. Kiai Achmad Dhofir Zuhri, Pengasuh (kanan), Ustadz. Ach. Yani el Rusyd, Lurah (kiri) 

 
Malang, Selaparangnews.com - Mengagumkan sekaligus membanggakan. Sejumlah Santri yang tengah menimba ilmu di Pondok Pesantren Luhur Baitul Hikmah (PLBH), Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur menerbitkan tujuh buah buku sekaligus di Hari Ulang Tahun Pesantren yang ke 10.


Lurah Pesantren, Ahmad Yani el Rusyd menjelaskan, menulis buku di hari perayaan pondok merupakan tradisi bagi santri di sana yang dimulai sejak ulang tahun ke tujuh beberapa tahun lalu.


Pada waktu itu, kata pria yang akrab disapa Ustadz Yani tersebut, Lurah kedua pondok, Ach Khoiron Nafis menghadiahi Pondok dengan buku terjemah al-Munqidz min al-Dhalal buah karya Imam al Ghazali. Sementara pada perayaan yang ke delapan ada dua buku, yakni terjemah kitab Mantiq/Logika, Sullam al-Munawraq dengan judul Mari menjadi Waras.


"Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Kiai Ach Dhofir Zuhri juga waktu itu ikut serta memberikan hadiah berupa kumpulan cerpennya yang berjudul Mari Menjadi Gila," tuturnya. Rabu, 15/12/2021.


Beranjak ke hari ulang tahun ke sembilan, lanjutnya, hadiah karya tulis bertambah, di mana pengasuh waktu itu telah menerbitkan tiga buku sekaligus di Gramedia, dan santri Luhurian menerbitkan tiga karya juga, yakni: Sederhana itu tidak Sederhana itu jilid I, Seni Belajar Logika secara Sederhana dan Cinta di atas Kursi terjemah tafsir ayat kursi. 


Dan pada perayaan yang ke sepuluh ini, lanjutnya, santri Luhurian (panggilan akrab untuk santri Ponpes Luhur Baitul Hikmah -red) menerbitkan tujuh karya, di antaranya ialah Menyibak Tirai Al-Qur'an oleh Hasani Mubarak, Mahasiswa Agen Perubahan oleh Alsaba S. Igobula, Tanpa Logika Loe Gila oleh Iqbalul Muid, Sederhana itu tidak Sederhana itu Jilid 2 oleh Ach Khoiron Nafis, Heri Zanqy dan Difan, Secangkir Kopi Filsafat oleh Herlianto A, dan Modal Dasar Baca Kitab serta Aku dan Seluruh Musim yang Terluka oleh Ach Yani el-Rusyd. 


"Kalau dihitung-hitung, dari tahun pertama Luhurian dimulai, terdapat sekitar 41 karya tulis yang telah dihasilkan oleh pengasuh dan santri," ungkapnya.


Penyerahan kenang-kenangan buku kepada Pengasuh, Kiai Ach. Dhofir Zuhri dari para Santri atau penulis



Pada perayaan ulang tahun ke 10 ini, kata Ustadz Yani, menjadi pesta bagi santri Luhurian yang agak unik. Pasalnya, selain menerbitkan tujuh buku sebagai kado, juga ada bangunan pesantren beserta mushalla yang telah dibangun tahun ini. 


Membabat alas dan membangun saat itu, kata Lurah Pondok ketiga itu, dimulai pada bulan November 2020. Karena itu, sambungnya, ulang tahun ke 10 ini sebenarnya merupakan perayaan santri bukan pesantren. 


Sebab tahun pertama hingga ke sembilan santri tanpa pesantren atau tempat belajar yang dimiliki pengasuh pada waktu masih berstatus tempat kontrakan baik rumah ataupun gedung.


Sehingga, kata dia, angka 10 apabila dibaca dari kanan termasuk perayaan ulang tahun pesantren yang pertama. Dengan demikian, perayaan ke 10 untuk santri Luhurian dan perayaan 01 untuk pesantren yang telah dibangun tahun lalu.


Perlu diketahui bahwa santri Luhurian tidak menggunakan istilah ulang tahun untuk menyatakan hari lahir pondok, melainkan menggunakan istilah "Hilang Tahun". Alasannya sederhana, kata Ustadz Yani, karena bagi Luhurian, waktu tidak pernah mengalami pengulangan. Bahkan, tahunan tersebut berlalu melampaui pergi sehingga tidak mungkin diulangi lagi. Sehingga yang perlu ditunaikan di acara tahunan adalah merayakan waktu yang "Hilang" bukan yang ber-"Ulang"


Bagi Luhurian, lanjutnya, sebagai santri atau pelajar yang bermukim di pesantrennya bukan tanpa syarat melaksanakan hari hilang tahun tersebut. Salah satu janji luhurnya adalah tradisi setiap merayakan upacara tahunan itu, harus ada karya tulis sebagai kado mungilnya dari para santri.


"Oleh karenanya, muncul jargon, pantang merayakan hari hilang tahun pesantren tanpa dibingkai dengan hadiah karya tulis berupa buku," pungkasnya. (Yns)

×
Berita Terbaru Update