Notification

×

Iklan

Iklan

Menginsyafi Penghujung Ramadan di Philadelphia

Friday, April 21, 2023 | April 21, 2023 WIB Last Updated 2023-04-20T16:26:09Z

Penulis: Ach. Dhofir Zuhry*


OPINI - Kota zombie, Anda pernah mendengar? Ya, itulah Philadelphia—yang berada di negara bagian Pennsylvania—merupakan salah satu kota paling bersejarah di Amerika Serikat. Di kota yang diapit oleh sungai Delaware dan Schuykill inilah terdapat Independence Hall atau tempat lahirnya Amerika Serikat oleh Kongres Kontinental Kedua pada 4 Juli 1776. Deklarasi tersebut merupakan proklamasi kemerdekaan 13 koloni dari kerajaan Britania Raya. 


Kota yang belakangan ini viral dengan julukan kota mayat hidup, khususnya di kawasan Kensington Ave, saya berusaha menggamit sisa-sisa makna puasa sebelum mengendus makna Idul Fitri di San Francisco, California (6,5 jam penerbangan dari New York).


Di kota Philly inilah terdapat kampung Indonesia dan memang 7000-an WNI bermukim di bagian selatan. Sama seperti kampung Indonesia di Anson, Korea, kampung Bali di China, kampung Jawa di Thailand, di bekas ibukota AS ini saya disambut oleh pak Emil, putra aktor kawakan Indonesia, HIM Damsyik atau yang dikenal dengan Datuk Maringgih dalam serial Siti Nurbaya (1992), untuk wawancara dan podcast bersama Indonesia Lantern di masjid Al-Falah.


Banyak obyek wisata menarik di Drunken City ini, di antaranya: Fairmont Park, Museum of Art, Independence Hall, Eastern State Penitentiary, Italian Market, The Franklin Institute, National Constitution Center, Liberty Bell Center serta Patung Rocky Balboa atau Sylvester Stallone (Rambo). 


Selain ikut menjemput WNI terlantar bersama KJRI New York, saya mengunjungi Independence Hall, menyaksikan pengadilan tertua di sana, manuskrip-manuskrip bersejarah di awal pendirian negara Paman Sam, melihat pijakan kaki atau tempat Abraham Lincoln dan John F Kennedy berdiri untuk menyampaikan pidato pada dirgahayu kemerdekaan AS di bawah patung George Washington. 


Di hari yang sama saya berkunjung ke salah satu museum seni rupa terbaik dan terbesar di AS—selain Museum of Fine Arts Boston, National Gallery of Art Washington, Art Institute of Chicago, Detroit Institute of The Arts, Los Angeles County Museum of Art, dan Metropolitan Museum of Art New York—yakni Philadelphia Museum of Art. 


Tetapi, tiba-tiba saya sadar bahwa tidak ada yang kebetulan, sebagai pembelajar filsafat saya mulai merentangkan pikiran mencari makna. Di zaman komunikasi dekorporeal ini, apa pentingnya mengunjungi tempat-tempat bersejarah?


Oleh karena setiap kita adalah filsuf “pesanan” yang dipesan langsung oleh kehidupan kita masing-masing—demikian termaktub dalam Filsafat untuk Pemalas. Secara gampang, filsafat tidak bersinonim dengan menjadi penyendiri, tidak paralel dengan menjadi pertapa. 


Filsafat, secara diametral, berbeda dengan fakultas dan program studi filsafat. Filsafat tidak berjarak dengan kehidupan, ia adalah denyut kehidupan itu sendiri, filsafat mendetak-jantungi perubahan sosial, menjadi bahagian dari problem solving, secara praktis dan teoritis. Sebab, jika Anda bingung dengan “jalan keluar”, filsafat mengajak kembali ke “pintu masuk”, mencari muasal, mencari akar, secara radikal. Itulah makna. Tanpa kebermaknaan, apa gunanya hidup, beragama, bernegara dan punya keluarga?


Filsafat itu mudah, yang rumit manusia, terus so what gitu loh? Bukankah bangsa manusia sangat piawai mereplikasi dirinya serta menduplikasi kepalsuannya, terutama di zaman bodyless ini? Bukankah manusia dahulu berasal dari sungai yang sama, sungai DNA, dan belakangan menjadi sungai digital dan sungai big data? Lantas, ke mana “sungai-sungai” ini bermuara? 


Nah, di penghujung Ramadan yang masih bersetia membersamai manusia yang ingin mencari muara dan makna, saya merasa makna itu selalu hadir. Nasehat, sebagaimana juga ilmu dan hidayah, senantiasa mendatangi kita, memasuki bilik-bilik kesadaran kita. 


Setiap hari, Tuhan senantiasa mengetuk pintu hati dan kesadaran kita, namun demikian, tidak setiap orang berdiri membuka pintu dan menyambutnya dengan riang gembira. Tak jarang, sebagian saudara kita malah menyambut Ramadan, Idul Fitri dan pencapaian antah berantah dengan cara yang keliru.


Saya kira, momen paling pas untuk lebih mengenal pribadi kanjeng Nabi dan Al-Qur’an adalah bulan Ramadan. Bulan puasa itu istimewa karana Al-Qur’an diturunkan pertama kali, istimewa karena umat manusia belajar ilmu adi-menusia dan meta-manusia, yakni "menahan diri" untuk menjadi binatang dan apalagi menjadi Tuhan. Itu artinya kaum muslimin mendapatkan tiga keistimewaan sekaligus, yakni tadarus (berdialog dengan Allah SWT), berpuasa dan tentu saja lebih mengenal pribadi Nabi Muhammad Saw sebagai sosok yang diwahyukan Al-Qur’an kepadanya, mengapa? 


Tentu saja lantaran Al-Qur’an adalah akhlak dan kepribadian sang Nabi. Pendek kata, Nabi adalah Al-Qur’an berjalan. Kabar gembiranya, kita bisa memuhammadkan diri kita, meramadankan seluruh hidup kita, serta menjadi pribadi yang terus bermakna. Bercahaya.   


Di Philadelphia Museum of Art, saya melihat kemajuan peradaban Islam pada masa kejayaan Islam, Alhambra di Granada, baju zirah Anatolia, Toledo dan manuskrip-manuskrip dari Andalusia oleh karena umat manusia waktu itu menjunjung tinggi ilmu dan filsafat. Tetapi, dari “masa lalu” itu saya merasa betapa suksesi politik, aneksasi dan ekspansi wilayah sangat berpengaruh terhadap perkembangan filsafat, ilmu dan peradaban. 


Pendek kata, tak ada satu kemenanmgan dan pencapaian pun dalam hidup tanpa “puasa”. Setelah puluhan tahun rakyat puasa demi Indonesia, tetapi nyatanya malah sebagian besar oknum pejabat yang menikmati lebaran, kini saatnya para pejabat yang puasa untuk rakyat, sebab rakyatlah majikan mereka.


Rasa-rasanya, sebelas bulan yang dipenuhi bising knalpot-knalpot kehidupan yang terus menderu, polusi syahwat berkuasa dan menindas yang lama mengotori kepala dan dada, rasanya puasa satu bulan belum tentu mampu membersihkannya. 


Lantas? Dalam hemat saya (yang tidak terlalu hemat), puasa Ramadan cuma latihan, puasa yang sesungguhnya adalah sebelas bulan pasca Ramadan. Belajar di sekolah sekadar latihan, belajar yang sesungguhnya di kehidupan nyata. 


Salat juga latihan, karena salat yang sejati adalah salat di luar salat, yakni memantulkan nilai-nilai salat di kehidupan nyata, berbangsa dan bernegara. Jika salat yang “formal” dimulai dari takbir dan diakhiri dengan salam, maka salat di luar salat, justru dimulai setelah kita salam hingga takbiratul ihram lagi di salat berikutnya! 


Tetapi yang patut direnung-insyafi, jika yang kita telan dan lantas kita muntahkan senantiasa berita-berita bohong dan ujaran kebencian, menghakimi yang berbeda, menghukumi secara serampangan yang di luar golongan kita, jelas bahwa seribu Ramadan pun takkan sanggup merubah kita menjadi pribadi yang bermental “puasa”, yakni menahan diri, mawas diri dan tidak jumawa. Apa sebab? Gegabah adalah ciri orang-orang kalah, tenang adalah cirri para pemenang.


Ramadan adalah bulan penghancur dosa-dosa di mana pintu-pintu surga dibuka selebar-lebarnya dan pintu-pintu neraka dikunci serapat-rapatnya, bagi siapa? Bagi mereka yang bertobat dan memperbaiki diri dari kepalsuan menuju yang hakiki—minal hoaks ilal haqq. 


Ramadan adalah bulan penuh rahmat, bagi siapa? Bagi mereka yang terus mencari dan tidak berhenti menebar cinta-kasih kepada siapa saja, tanpa pandang bulu. Bukankah Nabi sudah mencontohkan dengan hidup membaur di tengah-tengah masyarakat non muslim, ahli Kitab, Yahudi, Nasrani, kaum pagan? Bahkan, mertua Nabi sendiri Huyay al-Akhtab, ayahanda dari Siti Shafiyah adalah seorang Yahudi!


Sekali lagi Ramadan adalah bulan cahaya, bagi siapa? Bagi mereka yang menyadari kegelapan batinnya, kealpaan pola sikap dan kekerdilan pola pikirnya. Mengapa? Karena segala kegelapan itu menyesatkan. 


Gelap adalah kebodohan yang mengaku pintar, gelap adalah kedunguan yang merasa bijak bestari, gelap adalah kemiskinan yang justru berfoya-gila, gelap adalah kedangkalan yang merasa tinggi, gelap adalah tipu daya paling berbahaya, gelap adalah menyia-nyiakan usia, gelap adalah menyalahgunakan sumber daya, gelap adalah angkara yang merajalela, gelap adalah enggan menggapai cahaya, sibuk dengan bayang-bayang yang fana, gelap adalah tak melihat apa-apa selain gelap, jauh dari Tuhan dan akal sehat.


Nah, jika kebermaknaan adalah titik terang bagi hidup, tugas kita hanya memperbanyak titik terang itu hingga cahaya benar-benar nyata dalam keseharian kita. Selamat hari raya Idul Fitri 1444, mohon cinta lahir batin. []

 


*Ach. Dhofir Zuhry adalah Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen Malang, penulis buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji, Mari Menjadi Gila dan Nabi Muhammad bukan Orang Arab? dan bukunya yang akan segera terbit adalah Filsafat untuk Pemalas


×
Berita Terbaru Update