Notification

×

Iklan

Iklan

Berburu Lailatul Qadar di New York (Bag. 1)

Friday, April 21, 2023 | April 21, 2023 WIB Last Updated 2023-04-20T16:39:10Z

Penulis: Ach. Dhofir Zuhry*

OPINI - Ssstt… saya sebenarnya termasuk jenis manusia yang jarang piknik dan berlibur, apa sebab? Bagi saya, hidup seluruhnya adalah liburan dan hiburan itu sendiri. Sehingga, mereka yang sibuk berlibur bahkan sampai ke luar negeri sesungguhnya karena jiwanya sepi dan tak sanggup menghibur diri dan mendaur ulang sampah-sampah di kepala dan dadanya. Lantas, mereka mencari hiburan di luar. 


Tetapi, alasan rasional ini kadang malah dianggap mengada-ada. Tak jarang, teman-teman malah menuduh saya pobhia liburan, padahal, hidup saya memang lebih banyak dijadwal oleh orang lain dari pada diri saya sendiri. Itulah “liburan” saya selain berpikir, membaca, menulis dan sesekali mengajar.

Pada prinsipnya, setiap orang adalah penjelajah, petualang dan spasialis (bukan spesialis!) untuk sekujur hidupnya sendiri. Sejak usia 12 tahun, saya telah meninggalkan rumah untuk “berlibur” di sekian pesantren, sekolah juga perguruan tinggi dan hingga kini tak pernah pulang ke rumah orang tua, kecuali sekadar berkunjung mencium tangan ibu yang itu artinya “liburan” juga. Nah, jika sepanjang tahun seluruh korpus hidup adalah berlibur, manakah yang paling liburan di antara semua liburan itu? Ramadan.  

Pada tiap Ramadan, saya menjalani “liburan ke dalam diri” dengan melakukan petualangan intelektual dan pendakian spiritual, inilah liburan yang paling wow bersama para santri (Luhurian) dan mahasiswa (Alfarabian) dengan mentadarusi tidak hanya Al-Qur’an, tapi juga sekian matra dan disiplin ilmu dalam Islam. 

Akan tetapi, ada yang istimewa pada Ramadan 1444 H kali ini, saya mendapat undangan dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di New York—saya ditelepon langsung oleh Konsul Jenderal (Konjen), pak Winanto Adi yang sebelumnya menjadi Kabiro SDM di Kementerian Luar Negeri—untuk menyampaikan kajian selama Bulan Puasa di KJRI sendiri yang wilayah kerjanya mencakup Connecticut, Delaware, Maine, Maryland, Massachusetts, New Hampshire, New Jersey, North Carolina, South Carolina, Pennsylvania, Rhode Island, Vermont, Virginia, dan Virginia Barat.

Saya juga dijadwalkan untuk berdialog terkait Islam dan politik di Columbia University, Konsulat Jenderal Malaysia, juga bersama Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dialog lintas agama dengan komunitas Yahudi dan Nasrani, dialog dengan Foundation for Ethnic Understanding, serta diakhiri dengan menjadi Imam/Khatib salat Idul Fitri di San Francisco, California, sebelah barat kecamatan Kalideres, Jakarta. 

Sedianya saya dijadwalkan berangkat sebelum Ramadan, tetapi karena masih ada “liburan” di Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al-Farabi, maka keberangkatan diundur hingga tanggal 11 Ramadan. 

Betapa tidak, awal Ramadan baru saya urus visa Amerika Serikat (AS) di Konsulat Jenderal AS di Surabaya, tapi karana ada surat sakti “Note Verbale” dari KJRI, maka urusan visa beres dalam hitungan hari, yang normalnya agak lama, bahkan hingga sekian pekan. Walhasil, dengan persiapan serba mepet, karena masih ada proses pembangunan Musala/Masjid yang belum rampung, saya pun terbang melintasi samudra Atlantik selama 22,5 jam dengan sekali transit di Istanbul, lebih lama dari penerbangan Sydney-London yang “hanya” butuh waktu 19 jam.

Setelah tiba di bandara John F Kennedy di timur laut AS, Jamaica, saya langsung disambut dingin 37o F atau 2o C dan angin kencang karena peralihan musim dingin ke musim semi, di sepanjang jalan nampak pepohonan meranggas, luruh dedaunan dan reranting, tetapi sebahagian telah bersemi pucuk-pucuk harapan. Kabar baiknya, cuaca dingin menusuk tulang itu tetiba sedikit sirna dengan sambutan hangat pak Konjen dan isteri di Wisma KJRI di Scarsdale, Westchester County. 

Meski masih mengalami jet lag atau gangguan tidur berupa rasa kantuk pada siang hari dan sulit tidur pada malam hari setelah melakukan perjalanan jarak jauh dengan melintasi sekian zona waktu berbeda, malam itu kami ngobrol hingga larut dan keesokan harinya saya bersilaturrahmi ke kantor KJRI di kawasan kota sibuk Manhattan untuk kemudian saya langsung jogging di Central Park sekadar healing menikmati bunga Cherry Blossom yang mulai bermekaran. 

Untuk diketahui, taman seluas 341 hektare ini dikunjungi lebih dari 25 juta orang tiap tahunnya. Taman konservasi ini telah menjadi lokasi syuting untuk setidaknya 231 film selama 20 tahun terakhir. Bagi Anda penyuka film-film Hollywood, tentu tempat-tempat di Manhattan seperti Radio City Music Hall (film God Father dan Home Alone 2), Central Park (misalnya film Spiderman 3 dan Night at The Museum), Empire State Building (Ready Plaer One, X-Men, King Kong, An Affir to Remember, dll), Times Square (film Captain America, Vanila Sky, Enchanted), Grand Central Station (sebut saja film Men in Black, Avengers). 

Nah, Anda penggemar film Joker, tentu akrab dengan Bronx Stairs di New York, belum lagi Brooklyn Bridge, Monumen 9/11, Patung Liberty, Fifth Avenue, dan Rockefeller Center.

Namun demikian, saya hendak berlibur mencari makna Al-Qur’an dan Ramadan di negeri Paman Sam, meski terlambat untuk mengikuti tarawih di Times Square, padahal New York adalah New York, pusat bisnis, moneter, hiburan, seni, mode, media, riset dan kuliner. 

Kota yang mula-mula didirikan sebagai sebuah transit dan bandar perniagaan komersial oleh Belanda pada 1624. Permukiman ini dinamai New Amsterdam hingga 1664 ketika koloni ini berada di bawah kekuasaan Inggris. 

New York pernah menjadi ibukota AS pada 1785-1790—kelak nasib Jakarta lebih-kurang akan seperti New York setelah ibukota Indonesia resmi pindah ke Kalimantan Timur. New York—yang 72 kali lebih sibuk dari Jakarta—adalah kota terbesar di AS sejak 1790 dengan imigran paling banyak dan multiras dari seluruh dunia. 

Tak kurang dari 800 bahasa dipertuturkan di kota ini, sehingga menjadikannya kota dengan bahasa dan dialek paling beragam di dunia. Inilah tempat paling istimewa untuk berburu makna dan menghayati nilai.

Paman saya, seorang filsuf Prancis, Michel de Montaigne, dalam buku Filsafat untuk Pemalas mengatakan bahwa mencerdasi hidup adalah bagaimana memiliki pengalaman hidup dengan melanglang buana, menikmati perjumpaan baru dan tantangan baru. 

Patah tumbuh hilang bergantinya pengalaman dan penghayatan akan sebuah jejak dan makna hanya mungkin bisa ditempuh dengan membaca buku, mendengar kisah-kisah, mengendus misteri-misteri, serta terutama memasuki ceruk-ceruk dalam diri dan sisi-sisi kelam dari kemanusiaan kelak berjalin-jemalin merakit pengalaman batin tak terperi, berpilin merajut pendewasaan diri. 

Apapun itu, saya memang tidak pernah pergi berlibur, pekerjaan adalah liburan itu sendiri, toh saya tetap kejar tayang menyelesaikan satu buku di tengah kegiatan yang padat dan cuaca dingin, masih pula menyampatkan menulis catatan remeh ini, hehe. Nah, di kota tersibuk inilah petualangan intelektual dan pendakian spiritual selama Ramadan dimulai. Dengan rentang waktu puasa lebih lama dibandingkan negara-negara tropis, puasa lebih bermakna. Imsak, imsak, imsak. (bersambung). [ ]




*Ach. Dhofir Zuhry adalah Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah Kepanjen Malang, penulis buku Peradaban Sarung, Kondom Gergaji, Mari Menjadi Gila dan Nabi Muhammad bukan Orang Arab? dan bukunya yang akan segera terbit adalah Filsafat untuk Pemalas. 
×
Berita Terbaru Update