Notification

×

Iklan

Iklan

Transformasi Kegiatan Beragama Gen Z di Era Digital

Sabtu, 05 Juli 2025 | Juli 05, 2025 WIB Last Updated 2025-07-05T11:37:30Z

Penulis: Lalu Angger Argha Dining Biomantara | Mahasiswa Universitas Al Azhar Cairo, Anggota KM - NTB Mesir


OPINI - Generasi Z, yang tumbuh dan berkembang dalam dunia digital yang serba mudah diakses, memiliki cara pendekatan yang unik dan berbeda terhadap praktik-praktik keagamaan dalam kesehariannya. 

Akses luas terhadap teknologi dan informasi membuat mereka lebih luwes dalam mempelajari dan memahami ilmu agama, tidak hanya dengan cara klasik seperti sorogan, atau belajar langsung secara face to face kepada ulama' dan pemuka agama, tetapi juga dari jejaring sosial seperti menonton podcast, tiktok, serta beberapa platform digital lainnya. 

Mudahnya mencari informasi di era digital mampu memberikan dampak positif dan negatif terhadap sudut pandang serta pengaplikasian mereka terhadap agama.

Evolusi Pola Beragama

Era digitalisasi benar-benar memudahkan setiap individu, khususnya Gen Z dalam mempelajari dan memahami ilmu agama secara fleksibel. Mereka bisa mengikuti kajian-kajian online, tadarrus dan membaca tafsir melalui aplikasi, atau bahkan berdiskusi dalam forum digital dengan orang-orang dari berbagai kalangan dan latar belakang yang berbeda. Aplikasi berbasis agama, seperti yang menyediakan jadwal sholat 5 waktu, bacaan kitab suci, atau doa dan dzikir harian, semakin populer di kalangan mereka.

Akan tetapi, metode ini juga menimbulkan beberapa problem yang kompleks dan menjadi tantangan tersendiri. Informasi yang tersebar ataupun tersedia secara luas di platform media sosial tidak selalu valid dan berasal dari sumber-sumber yang kredibel. Akibatnya, besar risiko salah tafsir atau bahkan terpengaruh oleh paham-paham ekstremis maupun liberalis.

Dengan segala kemudahan yang ada saat ini membuat Gen Z memiliki kecendrungan baru dalam praktik keagamaan, sekarang mereka tidak hanya mengandalkan pemuka agama seperti Kyai atau Ustadz lokal, tapi mereka dengan mudah bisa mengakses segala pandangan dari banyak tokoh di belahan dunia dan berbagai madzhab. 

Mungkin menurut mereka hal ini bisa lebih membuka wawasan mereka menjadi lebih luas terhadap agama, padahal jika kita membuka mata lebar-lebar dan melihat dari sisi lain juga, justru hal inilah yang akan menjadi penantang serius bagi pemahaman mereka kedepannya jika mereka tidak memiliki dasar-dasar ilmu agama yang kuat. 

Selain itu kegiatan keagamaan yang bergantung pada media digital bisa menjadi lebih individualistis, dimana praktik-praktiknya dilakukan sendiri tanpa terlibat langsung dalam komunitas keagamaan ataupun kajian langsung (secara face to face).

Dengan tersedianya beberapa platform digital seperti YouTube, TikTok, hingga Instagram membuat konten-konten yang membahas tentang agama menjadi lebih laris, tapi cenderung lebih mudah juga untuk disalahpahami. 

Maka dari itu, para Gen Z dituntut agar tidak hanya menjadi konsumen pasif, tapi harus selektif, dan lebih meningkatkan kesadaran akan pemetaan ilmu dalam agama.

Sering kita jumpai dalam realita saat ini, marak terdengar istilah “ustadz seleb” atau “santri konten”di berbagai platform media sosial, secara tidak langsung fenomena ini menunjukkan bahwa memang otoritas keagamaan sekarang tidak hanya diukur dari faktor wawasan keilmuan saja, tapi juga skill komunikasi dan personal appeal yang dia punya. 

Inilah yang menggeser perspektif sebagian kalangan Gen Z dalam segi pantas atau tidak pantasnya seseorang dijadikan sebagai rujukan dalam beragama. Konten-konten dakwah dengan gaya penyampaian yang lebih santai, relatable, dan menarik secara visual lebih mudah diterima oleh banyak kalangan, khususnya Gen Z, daripada harus mendengar ceramah secara langsung yang menggebu-gebu dan terlalu panjang, meski sebenarnya jika diukur dalam segi kualitas kedalaman ilmu belum tentu setara.

Tantangan Keterlibatan Gen Z Pada Kegiatan Keagamaan

Generasi Z seringkali menghadapi kesulitan dalam mengikuti kegiatan keagamaan secara klasikal. Aktivitas sosial yang padat seringkali membuat mereka lebih memilih kegiatan yang fleksibel dan tidak terlalu merepotkan. Hal ini menjadi penyebab utama kurangnya partisipasi mereka dalam aktivitas ibadah berjamaah, pengajian, atau kegiatan komunitas keagamaan lainnya.

Diluar itu, Gen Z terkadang juga cenderung lebih kritis terhadap ajaran agama yang dianggap tidak relevan dengan realitas sosial.Mereka lebih mencari pemahaman yang inklusif, open minded, dan tidak kaku. 

Isu-isu tentang gender equality, HAM (Hak Asasi Manusia), dan lingkungan sehari-hari seringkali menjadi tolok ukur mereka dalam memahami ajaran agama. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang beragama, tetapi dengan pendekatan yang lebih rasional dan kontekstual. 

Gen Z juga sering merasa tidak nyaman dengan metode pendekatan moral dan spiritual yang mereka anggap terlalu normatif sehingga tidak memberikan mereka ruang untuk mengeksplorasi.

Nah, nalar kritis Gen Z terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan secara klasik juga menunjukkan bahwa memang perlu adanya metode pendekatan yang lebih rasional dan kontekstual kepada mereka. 

Bukan karena mereka anti terhadap budaya atau tradisi keagamaan klasik, justru karena yang mereka inginkan adalah bagaimana tradisi itu bisa disajikan dengan pemahaman - pemahaman yang lebih fresh dan tidak terkekang dogma, agar mereka bisa menjawab problematika zaman yang ada, lalu kemudian bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Ini menjadi tuntutan instansi keagamaan dan para pemuka agama untuk lebih memperhatikan Gen Z secara lebih spesifik: entah dari nalar berpikirnya, sosialisasi digitalnya, atau kebiasaan hariannya. Jika tidak begitu, besar kemungkinan jarak antara Gen Z dan otoritas keagamaan akan menjadi semakin renggang.

Akan tetapi, tantangan terbesar sebenarnya adalah tentang bagaimana cara menjembatani antara kecendrungan praktik beragama Gen Z dengan kedalaman wawasan agama itu sendiri, karena perlu banyak kesabaran dan proses yang tidak instant. Inilah sebuah dilema besar yang harus dipecahkan secara kolaboratif, tanpa harus menghakimi dan menyalahkan mereka.

Integrasi Nilai-Nilai Beragama Dalam Aktivitas Sosial Sehari-Hari

Walaupun pada faktanya keterlibatan Generasi Z dalam kegiatan keagamaan secara klasik menurun, Generasi Z tetap berusaha mengukuhkan nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka. Banyak dari mereka yang menunjukkan kepedulian terhadap keadilan sosial, lingkungan, dan kesejahteraan sesama, yang merupakan nilai utama dalam berbagai ajaran agama.

Seperti contoh gerakan filantropi dan kepedulian sosial berbasis agama semakin berkembang pesat dikalangan Generasi Z. Mereka lebih memilih menyalurkan sedekah atau donasi melalui platform digital, ikut serta dalam berbagai kampanye sosial yang berlandaskan nilai agama maupun kemanusiaan, sebagai contoh kecil: banyak dari kalangan anak muda yang ikut berjuang dan bersuara tentang genosida yang terjadi di Palestina, atau bahkan mengadvokasi isu-isu tertentu dengan perspektif keagamaan yang lebih progresif.

Selain itu, belakangan ini muncul juga sebuah tren yang biasa disebut dengan “ethical lifestyle”, salah satu faktor terealisasinya tren ini adalah semakin timbulnya kesadaran Gen Z tentang praktik beragama. 

Mereka mulai lebih teliti dalam memilah dan memilih antara produk halal dan non halal, sebisa mungkin menghindari fast fashion karena dampak lingkungan yang dinilai dapat menambah limbah tekstil dan menyebabkan emisi karbon tinggi, membantu usaha-usaha mikro milik komunitas agama untuk semakin berkembang. 

Dalam konteks ini, pola konsumsi dan gaya hidup Gen Z juga bisa dipengaruhi seiring meningkatnya kesadaran mereka terhadap praktik beragama. Aktivitas-aktivitas ini dilakukan sebagai wujud penerapan nilai-nilai agama di tengah kondisi sosial masyarakat yang semakin modern.

Kepedulian mereka terhadap isu-isu ini juga menunjukkan bahwa Gen Z sebenarnya tidak kehilangan rasa simpati dan moralitas yang ditanamkan oleh setiap ajaran agama. Hanya saja, mereka lebih memilih jalan berekspresi yang lebih aktual dan bersifat global,serta sesuai dengan kata hati dan nurani. 

Karena sejatinya ajaran agama juga mendorong kita semua agar menjadi manusia yang bermanfaat dan berdampak bagi lingkungan sosial masyarakat.

Tantangan dan Peluang Bagi Ormas, Lembaga Dan Pendidik Agama

Untuk tetap relevan dan bisa diterima dikalangan Generasi Z, ormas, lembaga, ataupun pendidik agama agaknya perlu mencatat: bahwa banyak tipikal Gen Z saat ini yang tidak mudah menerima otoritas tanpa penjelasan. 

Banyak dari mereka yang akan selalu bertanya, membantah, mengkritik, atau bahkan menolak sesuatu yang memang tidak diterima oleh logika mereka, kata-kata seperti "sudah jangan banyak tanya, ini memang sudah menjadi aturan dan ketentuan" lama kelamaan bukanlah menjadi sesuatu yang efektif untuk kalangan mereka. 

Mereka selalu ingin tahu apa dalilnya, apa sejarahnya, apa relevansinya dengan kehidupan dan problematika zaman ini. Maka ini menjadi PR besar bagi ormas, lembaga, dan pendidik agama agar bisa lebih memahami psikologis, sosial budaya, dan bisa lebih welcome kepada anak-anak muda yang ingin menyampaikan aspirasi mereka.

Selain itu, ormas, lembaga, dan pendidik agama perlu lebih responsif terhadap isu-isu yang menjadi perhatian dikalangan Gen Z. Lalu memberikan ruang dialog dua arah yang terbuka dan tidak hanya memberikan doktrin satu arah yang menekan mereka.

Peluangnya adalah dapat menarik minat Gen Z untuk tetap terlibat dalam komunitas keagamaan karena ketika anak-anak muda sudah mulai nyaman dan nyambung dalam dialog keagamaan, secara bertahap mereka akan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan dan praktik keagamaan, mereka bisa menjadi pionir pergerakan sosial masyarakat, dan menjadi wasilah penyambung lidah dakwah yang benar-benar kompeten dalam ilmu agama.

Gen Z memang membawa dinamika baru dalam praktik-praktik keagamaan di era digital yang apa-apa instant. Meskipun ada banyak sekali tantangan dalam keterlibatan mereka pada kegiatan keagamaan secara klasik, mereka tetap menjadikan agama sebagai identitas diri, dengan cara yang lebih progresif dan kontekstual sesuai perkembangan zaman.

Oleh karena itu, diperlukan metode merangkul yang lebih adaptif dari berbagai elemen masyarakat agar kegiatan dan praktik keagamaan tetap memiliki makna dan relevansi bagi generasi ini dan generasi selanjutnya. Dengan itu, pengamalan nilai-nilai agama di kalangan anak muda tidak hanya akan bertahan lama, tapi juga menjadi power terbesar dalam membentuk sosial masyarakat yang beradab dan memiliki nilai spiritual tinggi. [ ]
×
Berita Terbaru Update