![]() |
| Penulis: Daeng Sani Ferdiansyah, M. Sos. Kaprodi KPI IAIH Pancor |
OPINI - Setiap kali membuka gawai, anak muda Indonesia dihadapkan pada derasnya arus konten digital. Mulai dari video hiburan singkat, meme, hingga berita politik, semua hadir hanya dalam hitungan detik. Data terbaru menunjukkan, generasi muda Indonesia berusia 15-35 tahun menghabiskan rata-rata 8,5 jam per hari untuk mengonsumsi konten digital, 37 persen lebih tinggi dibanding kelompok usia lain.
Tidak heran, jika media sosial, seperti TikTok dengan lebih dari 100 juta pengguna di Indonesia menjadi ruang paling ramai bagi anak muda untuk berselancar, bahkan menghabiskan 45 jam per bulan hanya di satu platform.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah generasi muda kita sedang tumbuh sebagai konsumen pasif atau justru siap menjadi kreator kritis di era digital?
Konsumsi Konten: Antara Hiburan dan Ketergantungan
Di satu sisi, digitalisasi membuka ruang hiburan dan edukasi tanpa batas. Namun di sisi lain, konsumsi berlebihan tanpa filter kritis menjadikan anak muda rentan terhadap arus informasi yang menyesatkan. Indonesia bahkan masuk peringkat ke-29 dari 32 negara dalam Indeks Kesantunan Digital, menandakan bahwa interaksi warganet kita masih sangat rawan dengan ujaran kebencian, hoaks, hingga polarisasi.
Lebih parah lagi, media sosial kini juga menjadi ladang subur bagi disinformasi. Pemerintah bahkan menyoroti TikTok dan Meta karena dinilai lalai menekan konten berbahaya yang memprovokasi anak muda dalam isu-isu politik dan sosial. Ini membuktikan bahwa sekadar menjadi penikmat konten membuat anak muda mudah terseret narasi instan, tanpa daya kritis untuk memilah mana fakta, mana manipulasi.
Potensi Besar yang Belum Dimanfaatkan
Padahal, potensi generasi muda Indonesia sangatlah besar. Sebuah studi di Indramayu misalnya, menunjukkan bahwa 70 persen siswa SMA mampu membuat keputusan berbasis data dan 73 persen menunjukkan sikap toleran dan komunikatif. Sayangnya, hanya 33 persen yang berani mengambil tindakan nyata untuk perubahan sosial. Artinya, daya pikir kritis sudah mulai tumbuh, tetapi belum terakselerasi menjadi aksi yang berdampak luas.
Pendidikan berbasis teknologi interaktif terbukti mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis jauh lebih efektif dibanding metode konvensional. Namun, upaya ini masih belum merata. Di banyak sekolah dan kampus, literasi digital hanya sebatas kemampuan mengoperasikan gawai, bukan kemampuan untuk menyaring informasi dan melahirkan karya.
Mengubah Mindset: Dari Penonton Menjadi Pencipta
Sudah saatnya generasi muda mengubah pola pikir. Dari sekadar menjadi penonton setia konten, mereka perlu tampil sebagai pencipta narasi. Kreator konten bukan hanya mereka yang viral di TikTok atau YouTube, melainkan siapa pun yang mampu menghadirkan gagasan kritis, inspirasi, dan solusi melalui karya digital.
Di era di mana setiap orang bisa memegang “panggung” lewat gawai, kemampuan berpikir kritis adalah filter sekaligus bahan bakar. Tanpa critical thinking, konten hanya akan menjadi repetisi hiburan semu. Dengan critical thinking, konten berubah menjadi ruang refleksi, edukasi, dan gerakan sosial.
Dari Literasi ke Aksi Nyata
Peningkatan literasi digital harus dibarengi dengan keberanian mengambil aksi nyata. Data bahwa hanya sepertiga anak muda berani bertindak adalah alarm bagi kita semua. Konten kreatif seharusnya tidak berhenti pada like dan share, tetapi mendorong diskusi sehat, kampanye sosial, bahkan gerakan nyata di lapangan.
Membaca berita dengan kritis, membuat video edukasi sederhana, atau menulis opini di media sosial adalah contoh kecil yang bisa melatih kreativitas kritis. Jika dilakukan secara kolektif, maka generasi ini akan bergerak dari pasif menjadi produktif.
Peran Pendidikan dan Kebijakan
Transformasi ini tidak cukup hanya digerakkan oleh individu. Perlu dukungan sistemik dari pendidikan dan kebijakan. Kurikulum sekolah dan kampus seharusnya memasukkan literasi media dan berpikir kritis sebagai kompetensi inti, bukan sekadar tambahan. Guru dan dosen juga perlu dibekali pelatihan agar tidak hanya mengajar teori, tetapi melatih mahasiswa menyaring, menganalisis, dan memproduksi informasi.
Pemerintah pun perlu lebih serius membangun ekosistem kreator muda, bukan hanya menindak konten berbahaya. Misalnya dengan menyediakan ruang inkubasi kreator digital, beasiswa untuk proyek konten edukatif, atau kolaborasi dengan komunitas kreatif lokal.
Generasi yang Menentukan Arah
Era digital tidak akan menunggu generasi muda Indonesia untuk siap. Pilihannya hanya dua: menjadi generasi pasif yang terseret arus konten, atau menjadi generasi kreatif yang membangun arus sendiri dengan berpikir kritis.
Dengan jumlah pengguna internet mencapai 212 juta jiwa dan media sosial yang begitu dominan dalam kehidupan sehari-hari, masa depan ruang digital Indonesia ada di tangan anak muda. Maka, mari berhenti sekadar menjadi konsumen. Saatnya menjadi kreator kritis yang mampu menjawab tantangan zaman, sekaligus menjaga arah bangsa di era digital. []
