![]() |
Oleh: Rahni Nevada* |
Opini - Semenjak pandemi covid-19 melanda, kita dituntut untuk menghadapi berbagai
tantangan-tantangan perubahan sosial yang harus kita jalani dalam kehidupan
sehari-hari. Seperti halnya, kita dituntut untuk menerapkan physycal distancing yakni jaga jarak
fisik antar manusia dan menghindari kerumunan.
Selain itu, kita dituntut untuk selalu menerapkan protokol kesehatan ketika
harus bepergian keluar seperti menggunakan masker, membawa hand sanitizer, rajin mencuci tangan, dan lain sebagainya guna
meminimalisir penyebaran covid-19. Alhasil, hampir seluruh kegiatan sehari-hari
kita lakukan di rumah. Mulai dari bekerja di rumah, olahraga di rumah, hingga
belajar di rumah melalui media online bagi para pelajar dan mahasiswa.
Pandemi corona yang tak kunjung henti hingga memasuki bulan Desember ini
memang membuat orang-orang merasa bosan dan jenuh untuk diam di rumah saja.
Pasalnya, banyak orang yang bingung untuk memanfaatkan waktu mereka ketika
harus diam di rumah saja.
Namun, tidak sedikit pula orang-orang yang tahu bagaimana untuk tetap
produktif meski mereka harus diam di rumah saja. Misalnya, ada orang yang
menjadi lebih kreatif, mereka membuat konten-konten yang bermanfaat bagi banyak
orang melalui media sosial mereka, ada yang menghabiskan waktu mereka untuk
berkebun, belajar memasak dan mencoba resep-resep baru, bahkan bermain game
online suatu waktu untuk mengatasi kejenuhan mereka.
Tentu tidak sulit bagi mereka yang pandai mengatasi rasa jenuhnya dengan
bijak karena, mereka punya kegiatan yang tidak kalah menarik yang bisa mereka
lakukan hanya di rumah saja. Namun, bagaimana dengan sebagian orang yang tidak
bisa mengatasi rasa jenuh mereka terutama bagi para pelajar yang cenderung
labil dan mudah stress?
Beberapa bulan yang lalu sempat viral di media berita tentang pelajar SMP
dari Desa Aiq Berik, Kecamatan Batu Kliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah yang
memutuskan untuk menikah karena ia merasa bosan belajar online. “Saya bosan
belajar online. Makanya, putuskan menikah,” Begitu pengakuan EB gadis berusia
lima belas tahun yang duduk di kelas tiga SMP itu, seperti dikutip dari laman
iNews.id.
Selain karena bosan, ia juga mengaku tidak punya pilihan lain dan tidak
tahu harus berbuat apa lagi selain memutuskan untuk menikah karena di sisi
lain, EB sendiri tidak memiliki smartphone
untuk belajar daring di rumah hal ini disebabkan karena keterbatasan ekonomi.
Kasus pernikahan dini tersebut tentu saja menambah angka kasus pernikahan
dini di Lombok Tengah. Kasus tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak
kasus pernikahan dini yang terjadi di Lombok selama pandemi corona.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa, pernikahan dini merupakan salah satu
permasalahan penduduk yang dimana perlu adanya kerja sama yang solid antar setiap
pihak, mulai dari pihak keluarga yakni peran orang tua yang begitu penting
dalam menanamkan nilai-nilai pada anak, kemudian pihak sekolah yang dapat mengedukasikan
tentang berbagai dampak pernikahan dini kepada siswa-siswanya, selain itu,
peran pemerintah daerah untuk menekan
angka pernikahan dini yang terjadi.
Umumnya, pernikahan dini yang terjadi di masa pandemi disebabkan oleh dua faktor
yakni faktor ekonomi dan pola pikir masyarakat. Mulai dari faktor ekonomi, kebanyakan
orang tua yang tidak mampu membiayai hidup anaknya, mengizinkan dengan mudah
kepada anak-anaknya untuk segera menikah karena, apabila seorang anak telah
menikah, maka beban ekonomi keluarga akan berkurang.
Hal ini disebabkan karena, anak perempuan yang sudah menikah biaya hidupnya
tidak lagi ditanggung oleh pihak keluarga melainkan sudah menjadi tanggung
jawab suaminya. Terlebih lagi di masa pandemi ini dimana perekonomian
masyarakat semakin lumpuh hingga membuat pernikahan dini dikarenakan faktor
ekonomi semakin merajalela.
Padahal, pernikahan bukanlah sebuah solusi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi beban ekonomi. Justru hal ini bisa saja menambah beban keluarga sebab,
seperti yang kita ketahui bahwa pernikahan dini rentan terhadap kekerasan dalam
rumah tangga hingga dapat memicu terjadinya kasus perceraian, yang menyebabkan
seorang anak kembali dipulangkan ke rumah orang tuanya dengan membawa anak
hasil pernikahan mereka.
Kemudian, faktor pola pikir yang berkembang di masyarakat dapat dikatakan
masih kolot terutama masyarakat pedesaan, dimana mereka menganggap pendidikan
itu tidak penting sehingga, mereka rela mengorbankan masa sekolah mereka untuk
segera menikah karena dirasa tidak ada hal yang dapat dilakukan jika kita tidak
sekolah atau bekerja selain melaksanakan pernikahan. Mereka berfikir lebih baik
menikah daripada menjadi buah bibir tetangga dan dapat menimbulkan fitnah
bahkan takut dicap sebagai perawan tua jika tak kunjung menikah.
Tidak hanya itu, menurut Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTB, dari bagian
Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi
yakni Joko Jumadi mengatakan bahwa, maraknya pernikahan dini di masa
pandemi disebabkan oleh interaksi antara anak dengan gadget yang terlalu lama
sehingga mempengaruhi psikologi anak. Anak dapat dengan mudah terpapar oleh
adanya konten-konten yang berbau pornografi bahkan pornoaksi. (Radar Lombok 3/9)
Memang, selama pandemi ini hampir semua kegiatan dilakukan secara online melalui smartphone kita. Seperti bekerja, rapat,
berbelanja, hingga belajar di kelas pun melalui media online begitu juga dengan
anak-anak yang kemudian hal ini membuat mereka hampir seharian tak pernah lepas
dari smartphone mereka.
Tentu saja hal ini bisa memicu anak terpapar konten-konten yang berbau
negatif seperti pornografi yang dapat mendorong anak untuk melakukan pergaulan
bebas sehingga hal ini seringkali menyebabkan timbulnya kasus hamil di luar
nikah.
Belum lagi mereka menonton konten “keuwuan”
yang bertemakan nikmatnya menikah muda yang sekarang sedang nge-trend di media
sosial juga menyebabkan anak-anak mudah terpengaruh dan termotivasi untuk
melaksanakan pernikahan. Padahal, sebuah pernikahan lebih dari sekedar membuat
konten “uwu” bermesraan dengan
pasangan di media sosial semata.
Ada banyak konsekuensi yang harus dijalani ketika seseorang memutuskan
untuk menikah dini. Misalnya, permasalahan finansial, bagaimana cara
mendapatkan pendapatan dan mengelolanya untuk kebutuhan dalam rumah tangga.
Konsekuensi dalam menerima sikap dan kepribadian yang berbeda dengan
pasangan, kemudian belajar bagaimana mengatasi kejenuhan dan kebosanan dimana
rasa jenuh memang hal yang wajar dalam rumah tangga karena kita akan selalu
bertemu dengan orang yang sama setiap harinya.
Tidak hanya itu, kesiapan mental dalam menghadapi setiap permasalahan yang
jangan sampai salah satu dari pasangan mengambil keputusan yang tidak tepat
hanya karena tidak bisa menyelesaikan masalah dengan komunikasi dan diskusi
bersama pasangan. Dan masih banyak lagi konsekuesi yang harus dijalani untuk
membangun sebuah rumah tangga yang utuh dan hal ini yang sering kali tidak
disadari oleh para pelaku nikah dini bahwa, urusan rumah tangga sebenarnya
lebih rumit dibandingkan untuk tetap melanjutkan sekolah.
Selain itu, Joko Jumadi juga mengatakan tingkat kebosanan anak selama di
rumah saja juga dapat memicu timbulnya konflik antara anak dengan orang tua
sehingga, anak menjadikan pernikahan sebagai solusi atau jalan keluar untuk
terhindar dari rasa kebosanan dan menghindari konflik di rumah. (Radar Lombok
3/9)
Jika rasa bosan di rumah saja tidak bisa diatasi sendiri, bagaimana bisa
seseorang dapat mengatasi permasalahan rumah tangga yang lebih rumit dan
kompleks? Jangan jadikan pernikahan sebagai pelarian semata.
Sebab, memutuskan untuk menjalin hidup bersama orang lain itu tidak mudah.
Kita harus sudah beres dengan diri sendiri baru kita bisa mengajak orang lain
untuk hidup bersama kita dan menjalin hubungan yang serius.
Jika memang sedang bosan, ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita lakukan
seperti melakukan hobby kita di rumah atau melakukan hal-hal positif lainnya
seperti berolahraga misalnya, atau membaca novel, bermain musik, bahkan mungkin
mendekor ulang kamar agar suasana kamar jadi baru dan menyenangkan. Kemudian,
kurangi bermain media sosial karena, tidak baik bagi psikologis jika terlalu
lama bersosmed ria.
Perlu adanya upaya dari berbagai pihak guna meminimalisir terjadinya
pernikahan dini. Baik itu dari pihak keluarga yakni orang tua yang mendampingi
anak selama di rumah, kemudian guru selaku tenaga pendidik, hingga pemerintah
yang mampu membuat kebijakan untuk diterapkan demi menghalau terjadinya praktik
pernikahan dini.
Mulai dari pihak orang tua sendiri, dapat dilakukan dengan cara mengontrol
dan membatasi anak dalam penggunaan smartphone.
Seperti, memberikan batasan waktu seberapa lama dalam sehari menggunakan smartphone dan kapan harus berhenti
menggunakannya.
Selain itu, orang tua dapat mengajak anak mereka untuk melakukan kegiatan
positif yang bisa dilakukan di rumah bersama sehingga kedekatan antara anak dan
orang tua menjadi terbangun.
Kemudian, dari pihak guru, dapat dilakukan dengan cara mengedukasikan
kepada siswa-siswanya tentang bahaya pergaulan bebas dan dampak dari pernikahan
dini yang bisa disampaikan beberapa menit menjelang pelajaran di kelas online
berakhir. Selain itu, penting juga seorang guru untuk memberitahukan kepada
siswa-siswanya tentang pentingnya memiliki cita-cita yang tinggi untuk diraih
di masa depan.
Oleh karena itu, dengan diberlakukannnya kerja sama yang solid antar pihak diharapkan mampu untuk meminimalisir terjadinya pernikahan di masa pandemi. Semoga pandemi yang tak kunjung henti ini dapat segera berlalu dan fenomena-fenomena pernikahan dini yang terjadi di masa pandemi ini dapat kita ambil hikmahnya bersama.
*Mahasiswi Program Studi Sosiologi Universitas Mataram