Notification

×

Iklan

Iklan

Tradisi Begawe di Desa Sembalun Yang Merugikan Masyarakat Setempat

Saturday, December 12, 2020 | December 12, 2020 WIB Last Updated 2020-12-12T09:07:42Z


Opini - Begawe berasal dari suku kata Bega dan Gawe (bahasa lokal sasak), bega berarti bodoh gawe artinya memiliki fungsi dan berguna. Begawe oleh masyarakat sasak diartikan sebagai sebuah kegiatan yang berguna meski menghambur-hamburkan atau gaya hidup berlebih-lebihan/ hedonis.

Sementara istilah begawe dikelompokan ke dalam beberapa bentuk, ada yang berbentuk syukuran, ziarah, pesta, dan ada yang berbentuk belasungkawa. Sementara dalam istilah masyarakat suku sasak desa Sembalun, membaginya dalam beberapa bentuk, yaitu begawe ngurisang (hakikah), nyunatang (sunatan), merarik (nikahang), mate (meninggal)/bedina, sukuran haji (agar seorang yang akan pergi berhaji diberikan kesehatan dan keselamatan sampai tujuan serta untuk menyampaikan rasa syukur atas di berikannya kesempatan untuk beribadah haji pada tahun itu).

Di dalam Begawe ada istilah belangar ini, di bagi dalam dua model, ada belangar untuk perempuan dan ada belangar untuk laki-laki. Perempuan dalam belangar membawa , beras, minyak, telur  dan, jajan tradisonal . Sementara pihak laki-laki akan membawa nominal uang bekisar antara Rp. 50.000 hingga Rp. 100.000 tergantung kedekatan kekerabatan dan kekeluargaan. Artinya jika yang begawe adalah masih kerabat dekat maka tentu saja lebih besar yang akan di bawa belangar, pun demikian jika masih unsur kerabat jauh, yang di lihat adalah berapa yang biasa di bawa waktu belangar ketika yang lain melakukan begawe. Jadi intinya ketika kita membawa Rp. 50.000 saat orang begawe, maka tentu saja waktu kita yang begawe orang akan membawakan nominal yang sama kepada kita nanti. Tidak hanya uang pihak laki-laki juga membawa kelapa dua biji dan kayu bakar sebanyak dua bantel (ikat).

Situasi Covid-19 yang belum jua menunjukkan tanda-tanda akan berakhir, sebagian masyarakat di Desa  Sembalun merasa dirugikan. Hal ini disebabkan oleh adanya acara-acara gawe yang diadakan oleh masyarakat yang tak jarang dalam seminggu bisa 2 sampai 3 kali  penyelenggaraaan. Wajar saja bila kemudian ada sebagian masyarakat yang di rugikan, khususnya masyarakat yang memiliki perekonomian rendah. Bagi masyarakat yang menyelenggarakan Gawe,  tentu saja akan mendapatkan keuntungan yang banyak, apalagi setiap wanita dewasa akan membawa 3-5 kg beras serta minyak dan gula sehingga jika di totalkan semuanya menjadi Rp. 70.000. Dengan biaya yang sebanyak ini maka masyakat yang pergi begawe akan merasa rugi.

Di desa Sembalun sendiri memang masih kental dengan rasa kekeluargaannya. Sehingga jika ada acara-acara adat maka semua masyarakat akan ikut berperan aktif. Sehingga tidak jarang dari masyarakat yang tidak mampu akan merasa tertekan dengan kondisi ini. Jika mereka tidak belangar maka mereka akan di kucilkan, kerugian ini paling di rasakan oleh warga Sembalun yang kurang  mampu. Bagaimna tidak?  jika orang yang begawe ada 2-3 orang per mingggunya akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi warga setempat ,apalagi di  tengah pandemi saat ini. Semua serba mahal dan susah cari .Tak sedikit dari masyarakat yang memiliki perekonomian rendah, harus berhutang terlebih dahulu baru kemudian pergi belangar. 

Menurut salah satu warga Sembalun “Tradisi sih tradisi. Namun apabila orang begawe tiap minggu selalu ada bahkan lebih dari satu acara. Mau tidak mau kita harus berhutang untuk membeli beras, minyak, telur dan gula untuk kita bawa nanti ketika begawe. Padahal untuk makan sehari-hari aja sulit ”.

Secara sosiologis tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bisa di klarifikasikan ke dalam skema Teori Talcott Parsons Fungsionalisme Struktural.

Menutur teori itu, ada empat fungsi penting untuk semua system tindakan. Itu di sebut dengan skema AGIL ( Adaptation, Goal At-tainment, Integration, dan Latency).

Pertama adaptasi (adaptation), untuk supaya masyarakat dapat bertahan mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan agar tetap berabaur dengan masyarakat setempat, sehingga mau tidak mau masyarakat harus ikut berperan aktif dapat acra adat apapun yang ada di desa. Mengingat sifat masyarakat desa yang masih menjunjung tingggi rasa persaudraaan antar sesama. Salah satunya dengan begawe ini masyarakat harus tetap menyesuaikan diri dengan system yang sudah ditetapkan sejak turun menurun.

Kedua, pencapaian tujuan (Goal At-tainment), yakni sebuah system harus mampu menetukan tujuan dan bersama untuk mencapai tujuan yang telah di rumuskan. Seharusnya dalam situasi dan kondisi yang sekrang ini masyarakat harus saling bahu membahu untuk memberantas segala permasalahan yang ada. Sehingga tidak ada satupun masyarakat nantinya yang akan merasa dirugikan dengan adanya begawe ini. 

Ketiga, integrasi ( integration ) yakni, masyarakat harus mengatur hubungan diantara komponen-komponen agar dapat benrfungsi secara maksimal. Untuk terus menguatakan integrasi dalam masyarakat, lembaga desa sepeti RT/RW harus melakukan tindakan yang dapat berupa  controlling ( mengontrol) segala bentuk tindakan dan kegiatan yang ada  dalam masyarakat. Agar memenuhi standar kehidupan masyarakat desa dan menghindari konflik yang merugikan warga setempat. 

Keempat, pemeliharaan pola ( Letensy ) yakni, bahwasanya setiap  masyarakat harus mempertahankan, memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola budaya yang meciptakan dan menunjukkan pada kebutuhan mempertahankan motivasinya. Terlepas dari pesmasalahan yang di timbukan karena begawe, masyarakat harus tetap menomor satukan rasa solidaritas dan kekeluargaan. karena konflik akan sulit terjadi jika kedua sifat itu melekat pada masyarakat.


Tidak bisa dipungiri jika bagawe ini merupakan masalah sosial yang berkepanjangan nantinya. Mengingkat setiap minggu ada saja yang begawe mulai dari acara nikahan, sunatan, aqikahan dan banyak lagi. Namun mau baagaimana lagi, begawe sudah menjadi tradisi yang sudah melekat pada suku sasak Lombok terutama masyarakat desa Sembalun. Kita harus mempunyai cara tersendiri untuk melestarikan budaya dan menjadikan perbedaan menjadi sebuah satu kesatuan yang membuat nilai dan norma pada masyarakat tetap berjalan positif. 


Oleh: PRATIWI

Mahasiswi Sosiologi Universitas Mataram


×
Berita Terbaru Update