Notification

×

Iklan

Iklan

Demokrasi dan Matinya Kepakaran: Sebuah Sudut pandang

Selasa, 12 Agustus 2025 | Agustus 12, 2025 WIB Last Updated 2025-08-12T05:36:55Z

Penulis: Suriadi, ME, Ketua Divisi Perencanaan, Data dan Informasi KPU Lombok Timur

OPINI - Secara terminologi, Demokrasi dapat dimaknai sebagai sebuah sistem pemerintahan dimana kedaulatan ada di tangan rakyat, lazim kita dengar dari, oleh, dan untuk rakyat, namun pada tulisan ini, saya tidak akan mengulas tentang apa, bagaimana, dan seperti apa Demokrasi itu.


Lewat tulisan ini, saya ingin memberikan pandangan tentang Demokrasi, yang semakin hari, kian mendapatkan tantangannya sendiri, di tengah derasnya arus perkembangan teknologi informasi yang menjadikan manusia, menjadi satu dimensi, yakni dimensi dunia maya.


Jika ditilik dari sejarah Demokrasi di indonesia, dapat dikatakan berawal ketika Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, di mana UUD 1945 ditetapkan sebagai konstitusi bangsa ini.


Akan tetapi, pada faktanya, demokrasi di indonesia ini mengalami metamorfosis beberapa kali, yakni: Demokrasi Parlementer (1945–1959), Demokrasi Terpimpin (1959–1965), Demokrasi Pancasila (Orde Baru, 1966–1998), Demokrasi Reformasi (1998–sekarang).


Terlepas dari fase Demokrasi kita sejak awal, mungkin dari sekian banyak masyarakat indonesia, ada yang belum puas terhadap demokrasi kita ini. Tentu itu adalah hak masing- masing warga negara, memberikan interpretasi terhadap sistem pemerintahan negaranya sendiri.


Kaitannya dengan judul di atas, saya mengutip sebuah judul buku, edisi terjemahan dalam bahasa indonesia, dimana judul asli dari buku tersebut ialah "The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters".


Dalam buku yang ditulis oleh Tom Nichols tersebut, acapkali pandangan para pakar tenggelam oleh informasi semu, yang di sampaikan para tokoh yang berpengikut besar, para influencer yang belum tentu memahami secara mendalam apa yang dibahasnya, saking populernya pandangan tanpa dasar dan argumentasi tidak ilmiah, pendapat yang salah bisa dianggap sebuah kebenaran, sementara pendapat para ahli yang memiliki reputasi yang baik, sering diabaikan.


Tentu hal tersebut berdampak pada masyarakat dan perkembangan demokrasi, parahnya, saat pakar dinegasikan dan diremehkan, maka yang berkembang ialah pengetahuan keliru, di mana hal tersebut membuka peluang bagi peruntukan Demokrasi. 


Mungkin bukan Demokrasi yang runtuh, tapi nilai-nilai demokrasi kian terkikis manakala, peran para pakar di lemahkan oleh disinformasi semu yang muncul dari orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dan keahlian di bidangnya.


Dengan demikian, penulis memandang, hal ini sebagai warning kita semua, di tengah pesatnya perkembangan teknologi, dan banyaknya pengguna media sosial yang bisa mengomentari siapa saja, dan bisa mempengaruhi publik tentu menjadi tantangan tersendiri.


Lewat tulisan ini, saya ingin memberikan penegasan bahwa saya tidak meragukan influencer maupun tokoh yang memiliki pengikut banyak di media sosial, namun, saya perlu menyampaikan kepada siapa saja, bahwa, tidak semua orang bisa mengomentari semua hal secara spesifik, kecuali ia memiliki kompetensi di bidangnya.


Tentu sebagai insan yang punya daya nalar, kita harus selektif dalam menerima dan menanggapi informasi yang ada, menghargai ilmuwan dan pakar, serta bersama-sama menjaga nilai keilmuan demi masa depan masyarakat dan demokrasi yang sehat.


Demokrasi kita mungkin belum sempurna, mungkin juga belum sesuai dengan ekspektasi kita, tapi menjaga ilmu pengetahuan, mendengarkan para pakar, menganalisa komentar ahli, adalah bagian dari kesehatan berdemokrasi.


Sebagai penutup, pilihan dalam hidup adalah sebuah keniscayaan, demikian halnya dengan memilih percaya pada pernyataan seorang ahli, atau percaya kepada orang yang tidak kompeten, atau memilih percaya kepada semuanya, layaknya kata pepatah "Tahu banyak tentang sedikit hal, tahu sedikit tentang banyak hal"


Wallahu a'lam

×
Berita Terbaru Update